Penulis
Intisari-Online.com - Myanmar kini tengah dilanda darurat pemerintahan, dengan pihak militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun untuk menjaga stabilitas negara.
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi bersama sejumlah tokoh senior Partai National League for Democracy (NLD) ditangkap dalam sebuah penggerebekan, Senin (1/2/2021).
Penangkapan tersebut terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara pemerintahan sipil dengan militer dalam beberapa hari terakhir.
Disebut, pangkal masalah ketegangan di Myanmar bermula dari Pemilu November 2020, pemilu demokratis kedua sejak negara itu keluar dari pemerintahan militer pada 2011.
Pihak militer menuduh adanya kecurangan dalam proses pemungutan suara, sehingga perolehan suara Partai National League for Democracy (NLD) jauh lebih besar dari yang diperkirakan banyak orang.
Sementara itu, mengutip Kompas.com, Manuver militer yang melakukan kudeta di Myanmar dan memberlakukan status darurat dipandang tak masuk akal oleh pakar.
Sebab, menurut Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign UK, sejak konstitusi 2008, yang dirumuskan militer diterapkan, mereka mendapatkan keuntungan luar biasa.
Sebelumnya, selama di bawah junta militer, Myanmar terendus lakukan berbagai praktik kotor.
Melansir The Conversation, terlepas dari pembubaran junta pada tahun 2010, militer Myanmar (secara resmi dikenal sebagai Tatmadaw) telah mempertahankan kekuatan politik dan ekonomi yang besar.
Seperempat kursi parlemen disediakan untuk pejabat militer.
Tatmadaw juga mengontrol beberapa konglomerat komersial besar dengan pengaruh ekonomi yang tidak proporsional, yang telah berkembang pesat selama bertahun-tahun kronisme dan korupsi.
Sanksi internasional yang berat yang dijatuhkan pada Myanmar selama pemerintahan junta militer telah dicabut.
Namun, para pembela hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperingatkan agar tidak berbisnis dengan Tatmadaw karena kekejaman hak asasi manusianya.
Seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghindari berbisnis dengan Tatmadaw berasal dari operasinya tahun 2016 melawan Arakan Rohingya Salvation Army, pemberontakan separatis Islam yang berbasis di negara bagian barat Rakhine.
Rahkine adalah sekitar sepertiga Muslim, sebagian besar etnis Rohingya, sebuah kelompok dengan budaya dan bahasanya sendiri yang khas.
Tindakan keras tersebut dengan cepat memburuk menjadi krisis hak asasi manusia.
Sekitar 350 desa Rohingya dihancurkan, menurut Human Rights Watch.
Sementara, ratusan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh, di mana ratusan ribu lainnya sudah tinggal di kamp pengungsi karena penganiayaan di masa lalu.
Pada Maret 2017 , Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjuk misi pencari fakta independen untuk menyelidiki tuduhan kekejaman.
Misi tersebut termasuk mantan Komisaris Hak Asasi Manusia Australia Chris Sidoti, mantan jaksa agung Indonesia Marzuki Darusman dan pembela hak asasi manusia Sri Lanka Radhika Coomaraswamy.
Mereka menerbitkan laporan lengkap pertama mereka pada September 2018.
Laporan yang merinci pembunuhan ribuan warga sipil Rohingya, penghilangan paksa dan pemerkosaan massal, itu meminta Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan lima komandan lainnya untuk disingkirkan.
Pada September 2019, misi tersebut menerbitkan laporan tentang kepentingan ekonomi Tatmadaw.
Ia merekomendasikan bisnis asing memutuskan hubungan dan menghentikan semua urusan bisnis dengan entitas yang dikendalikan Tatmadaw.
Fokus utama laporan tersebut adalah Myanmar Economic Corporation (MEC) dan konglomerat lainnya, Myanmar Economic Holding Ltd (MEHL).
Kedua perusahaan tersebut telah memperoleh keuntungan dari kontrol yang hampir monopoli atas banyak kegiatan dan industri di bawah junta.
Baca Juga: Disiksa, Dibunuh hingga Mayatnya Dibeton, Inilah Fakta-fakta Kisah Tragis Junko Furuta
(*)