Intisari-online.com - Baru-baru ini sebuah kabar mengejutkan datang dari Myanmar.
Negara itu terancam dalam gejolak politik, setelah Militernya mengatakan akan melakukan kudeta pada pemerintah.
Hal itu menimbulkan keprihatinan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendengar rencana militer Myanmar itu.
Belasan kedutaan besar termasuk delegasi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, pada Jumat (29/1/2021) mendesak militer Myanmar mematuhi norma-norma demokrasi.
Kedubes-kedubes itu bersama PBB menyuarakan keprihatinan pada Myanmar yang berada di ambang kudeta militer.
Myanmar baru satu dekade keluar dari hampir 50 tahun pemerintahan militer.
Demokrasi Myanmar diatur dalam konstitusi yang dibuat oleh junta, untuk menentukan pembagian kekuasaan antara pemerintahan sipil dan para jenderal negara.
Selama beberapa minggu terakhir militer menuduh ada kecurangan di pemilu Myanmar pada November tahun lalu.
Yang berakhir dimenangkan oleh partai National League for Democracy (NLD)-nya Aung San Suu Kyi.
Ancaman kudeta militer semakin kuat usai Jenderal Min Aung Hlaing, yang bisa dibilang orang terkuat di Myanmar.
Pada Rabu (27/1/2021) ia berkata konstitusi negara dapat dicabut dalam keadaan tertentu.
Anggota parlemen terpilih akan mulai menjabat pada 1 Februari, tetapi hari ini keamanan di ibu kota Naypyidaw sudah diperketat. Polisi menjaga jalan dengan pagar kawat berduri.
Kedubes AS bersama 16 negara termasuk Inggris dan delegasi Uni Eropa, pada Jumat (29/1/2021) merilis peringatan agar militer mematuhi norma-norma demokrasi.
"Kami menanti pertemuan damai parlemen pada 1 Februari dan pengangkatan presiden serta DPR," kata mereka.
"(Kami) menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar," lanjutnya dikutip dari AFP.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyampaikan keprihatinan besar atas kondisi Myanmar belakangan ini, kata juru bicaranya, Stephane Dujarric.
"Dia mendesak semua yang terlibat untuk menghentikan segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, dan mematuhi norma-norma demokrasi serta menghormati hasil (pemilu)," ujar Dujarric.
Pemilu Myanmar pada November 2020 adalah pemilihan umum demokratis kedua sejak keluar dari tirai kediktatoran militer selama 49 tahun.
Seperti yang diprediksi, Suu Kyi dan partainya menyapu bersih pemilu dan mempertahankan kekuasaan mereka selama lima tahun ke depan.
Namun, militer Myanmar menuduh ada 10 juta suara palsu dan menuntut penyelidikan serta meminta KPU merilis daftar pemilih agar bisa diverifikasi.
KPU Myanmar pada Kamis (28/1/2021) memberikan pembelaan, bahwa pemungutan suara itu dilakukan bebas, adil, kredibel, dan mencerminkan keinginan rakyat.
Komisi tersebut juga membantah tuduhan kecurangan pemilih, tetapi mengakui ada kesalahan data dalam daftar pemilih di pemilihan sebelumnya.
Mereka berkata, saat ini sedang menyeidiki ada total 287 pengaduan yang masuk.
Source : Kompas.com