Intisari-Online.com -Permintaan maaf pimpinan KPK usai Singapura berang karena tak sudi disebut sebagai surga koruptor menimbulkan pro dan kontra.
Sebagian masyarakat mendukungnya, namun tak sedikit yang justru mempertanyakan sekaligus menyesali pernyataan tersebut.
Mereka yang tidak setuju dengan permintaan maaf menganggap bahwa selama ini Singapura memang sudah jelas-jelas menjadi tujuan pelarian para pesakitan Indonesia.
Faktanya, Singapura memang mau bekerja sama dengan Indonesia soal para koruptor di negaranya, tapi dengan syarat yang bisa mencoreng martabat Indonesia.
Namun, sebelum kita membahas mengenai alasan Singapura disebut surga koruptor, sebaiknya kita ulas terlebih dahulu polemik KPK vs Singapura di atas.
Polemik ini sendiri berawal ketika Deputi Penindakan KPK Karyoto ditanya mengenai perkara dugaan korupsi proyek e-KTP yang melibatkan tersangka Paulus Tannos, yang diketahui tinggal di Singapura.
"Begini, kalau yang namanya pencarian dan kemudian dia berada di luar negeri, apalagi di Singapura, secara hubungan antarnegara memang di Singapura nih kalau orang yang sudah dapat permanent residence dan lain-lain agak repot, sekalipun dia sudah ditetapkan tersangka," ucap Karyoto, Salasa (6/4/2021).
"Dan kita tahu bahwa satu-satunya negara yang tidak menandatangani ekstradisi yang berkaitan dengan korupsi adalah Singapura. Itu surganya koruptor, yang paling dekat adalah Singapura," lanjut Karyoto.
Pernyataan inilah yang kemudian memantik reaksi kerasa dari Singapura, seperti terlihat dalamsitus resmi Kemlu Singapura, Sabtu (10/4).
"Tidak ada dasar untuk tuduhan tersebut. Singapura telah memberikan bantuan kepada Indonesia dalam beberapa investigasi sebelumnya dan yang sedang berlangsung," tulis situs tersebut.
Singapura berdalih mereka, melaluiCPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) beberapa kali membantu KPK.
Termasuk di antaranya adalah membantu KPK memanggil orang-orang yang akan menjalani pemeriksaan oleh KPK.
Menanggapi kegeraman Singapura terhadap pernyataan salah satu Deputinya tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango pun meminta maaf.
Nawawi sendiri mengaku bahwa dirinya menyatakan permintaan maaf meski tidak menyimak dengan baik apa yang telah disampaikan olehDeputi Penindakan KPK Karyoto.
"Kalau ada pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan lembaga yang telah menimbulkan ketidaknyamanan, tentu kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari pernyataan-pernyataan tersebut," ucap Nawawi, Sabtu (10/4/2021).
Namun, faktanya, Singapura memang menjadi "surga" bagi para pesakitan Indonesia, tidak hanya para koruptor hanya karena adanya satu celah penting.
Kemelut mengenai Singapura surga koruptor paling anyar, sebelum pernyataan Deputi KPK, adalah saat tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024 Harun Masiku diketahui telah meninggalkan Indonesia pada Senin (6/1/2020).
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Harun pergi ke Singapura pada tanggal tersebut.
Kaburnya Harun ke Singapura ini menambah catatan panjang para buron koruptor yang bersembunyi di negara yang berbatasan dengan Pulau Batam itu.
Beberapa nama lain yang tercatat pernah melarikan diri ke Singapura adalah Bambang Sutrisno, Andiran Kiki Ariawan, Muhammad Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, Hartawan Aluwi dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Ditangkap KPK dan Jadi Tersangka,Ternyata Kekayaan Edhy Prabowo Ditaksir Capai Rp7,4 Miliar
Salah satu alasan Singapura sering jadi tujuan para buronan kasus korupsi Indonesia adalah perjanjian ekstradisi yang belum diratifikasi.
Menurut Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1979, ekstradisi merupakan penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan menghukumnya.
Indonesia sebenarnya telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada 2007 silam.
Akan tetapi, perjanjian tersebut tak berlaku karena belum diratifikasi oleh DPR.
Beberapa kali pemerintah Indonesia telah mengupayakan untuk meratifikasi perjanjian itu, tetapi selalu menemui jalan buntu.
Situasi memanas
Pada 2009, misalnya, Indonesia dan Singapura pernah membahas perjanjian ekstradisi tersebut.
Akan tetapi situasi yang memanas antara Indonesia dan Singapura membuat pembahasan terhenti, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com (13/3/20012).
Baca Juga: KPK Akhirnya Menangkap Tersangka Penyuap Nurhadi Setelah 8 Bulan Buron, Ini Kronologinya
Upaya serupa juga pernah dilakukan pada tahun 2012. Namun, lagi-lagi tak ada kesepakatan yang dibuat.
Harian Kompas, 10 Oktober 2012 memberitakan, tidak diratifikasinya perjanjian tersebut karena keberatan beberapa pasal.
Menurut Hajriyanto Y Thohari yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua MPR, Indonesia keberatan jika wilayahnya digunakan untuk latihan perang militer Singapura.
Suatu syarat yang jelas sulit dipenuhi karena seolah mengizinkan Singapura mengobrak-abrik wilayah Indonesia, dan tentu saja mencoreng martabat negara Indonesia.
Sejauh ini, Indonesia memiliki perjanjian ekstradisi secara bilateral dengan beberapa negara ASEAN, yaitu Malaysia, Filipina dan Thailand.
Selain dengan negara ASEAN, Indonesia juga telah menyepakati perjanjian ekstradisi dengan negara lain, seperti China, Korea Selatan.
Pemulangan Samadikun Hartono pada 2016 lalu merupakan contoh dari hasil perjanjian ekstradisi Indonesia dengan China.
Samadikun merupakan terpidana kasus penyalahgunaan dana BLBI yang buron sejak tahun 2003.