Advertorial

Sulit Didamaikan! Sikap Saling Klaim Sejarah, Halangi Perdamaian Antara Armenia dan Azerbaijan: Kita Harus Melihat Masalah Sejarah

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Intisari-Online.com - Beban historis antara Armenia dan Azerbaijan diyakini akan mempersulit upaya internasional untuk mendamaikan kedua negara tersebut.

Ketika Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev berbagi panggung dengan PM Armenia, Nikol Pashinyan, dalam kesempatan langka di sela-sela Konferensi Keamanan München, Februari silam, keduanya diajak membahas sejarah perseteruan di Nagorno-Karabakah. Pembicaraan itu berlangsung pedas.

“Untuk menyudahi konflik, pertama kita harus kembali dan melihat masalah sejarah,” kata Aliyev yang bersikeras mengklaim teritorial Azerbaijan terhadap Nagorno-Karabakh, didukung “kebenaran sejarah.”

“Saya ingin meminta Presiden Aliyev agar tidak terlalu jauh kembali ke sejarah,” sahut Pashinyan.

Baca Juga: Saling Lempar Bom Mematikan hingga Buat Kota-kota Luluh Lantak, Perang Armenia-Azerbaijan Makin Brutal, Warga Setempat: Tapi Kenapa Dunia Diam?

Dia menegaskan kawasan pegunungan itu hanya menjadi bagian Azerbaijan atas dasar sebuah keputusan yang diambil di masa-masa awal Uni Soviet.

Pertukaran pemikiran tersebut mengungkap betapa tafsir sejarah yang berpaut jauh mempersulit resolusi konflik paling liar yang diwariskan Soviet Rusia di Asia Tengah.

Sejarawan meyakini, beban sejarah merintangi kedua negara mencapai kesepakatan jangka panjang.

Bagi Azerbaijan, Nagorno-Karabakh adalah wilayah teritorialnya.

Baca Juga: Makin Panas, Armenia Tuduh Azerbaijan Menarget Hancurkan Katedral Suci yang Telah Berdiri Megah Sejak Abad 19 Ini, 'Dulunya Jadi Gudang Senjata'

Klaim ini juga didukung secara resmi oleh PBB.

Sebaliknya bagi Armenia, Karabakh yang direbut Kekaisaran Rusia pada awal abad ke-19, hanya menjadi bagian Azerbaijan lantaran keputusan mendadak pemerintah Uni Soviet.

Dalam pembicaraan di München, Pashinyan mengatakan keputusan memasukkan Nagorno-Karabakah ke dalam wilayah Azerbaijan dibuat pada awal 1920-an, menyusul “insiatif pribadi” Joseph Stalin, yang kala itu menjabat komisaris bangsa-bangsa di Uni Soviet.

Ucapan Pashinyan dibantah oleh Aliyev.

Baca Juga: Nagorno-Karabakh Bakal Jadi Pintu Neraka Bagi Eropa, Intelijen Rusia Ungkap Bahaya yang Mengintai Benua Biru Akibat Perang Armenia-Azerbaijan

Jalinan rumit antara Armenia dan Azerbaijan

Upaya Armenia merebut Karabakh sudah dimulai sejak era Uni Soviet.

Langkah ini tidak didukung pemerintah Moskwa saat itu.

Namun konflik kembali menyeruak ketika pengaruh Rusia melemah dan Uni Soviet berada di jurang keruntuhan.

Baca Juga: Situasi Semakin Memburuk, Ancaman Azerbaijan Kepada Armenia Tunjukkan Ajakan Perang Terbuka, 'Kami Akan Maju!'

Armenia kemudian memenangkan perang melawan Azerbaijan ketika gencatan senjata disepakati.

Akibatnya ratusan ribu warga Azerbaijan terusir dari Karabakh dan tujuh wilayah lain di Azerbaijan yang diduduki Armenia.

Oleh karena itu juga, warga etnis Armenia saat ini mendominasi populasi penduduk di Nagorno-Karabakh.

Status quo tersebut, pendudukan tanpa deklarasi kemerdekaan, didukung oleh pemerintah Yerevan hingga kini.

Baca Juga: Turki yang 'Tidak Bertobat' Terus Mengancam, Perang Yom Kippur tahun 1973 Memegang Kunci Untuk Memecahkan Konflik Armenia-Azerbaijan

“Posisi Armenia dan Azerbaijan sudah sedemikian membatu, dunia internasional tidak memiliki pengaruh apapun terhadap kedua negara,” kata Nicu Popescu, Direktur Program Eropa Luas di Dewan Eropa untuk Kebijakan Luar Negeri.

Dia meyakini skenario paling realistis saat ini adalah eskalasi perang yang akan “mengiris” wilayah Karabakh.

“Kita harus kembali ke sana,” kata Presiden Aliyev, akhir pekan silam, dan menyebut wilayah pegunungan itu sebagai “rumah kita.”

Agustus silam, saat PM Pashinyan mengunjungi Karabakh, dia untuk pertama kalinya menyerukan penyatuan dengan Armenia.

Baca Juga: Ikut Wamil Lawan Azerbaijan, Atlet Kebanggaan Armenia Ini Tewas Mengenaskan di Nagorno-Karabakh

“Artsakh (Karabakh) adalah Armenia. Titik.”

Punya tafsir sejarah masing-masing

Hingga kini kedua negara merawat tafsir sejarah versi masing-masing yang fokus membahas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan masing-masing lawan, serta melewatkan sejarah kekejaman sendiri.

Armenia misalnya mengenang pembantaian Sumgait di Azerbaijan, ketika kerusuhan massal pada Februari 1988 menyisakan 26 korban jiwa warga etnis Armenia.

Tapi di Khojaly, 1992, Armenia menembaki warga sipil yang berusaha melarikan diri dalam sebuah pembantaian, yang menurut Azerbaijan, menewaskan ratusan orang.

Baca Juga: Laksanakan dengan Perbuatan, Umumkan dengan Jelas', Azerbaijan Bersumpah Siap Hentikan Gempuran, Asal Armenia Sudi Lakukan Satu Syarat Ini

Sejak gencatan senjata berakhir pada ketegangan terakhir tahun 2016 silam, “proses perundingan damai dihentikan melalui komunikasi yang dilakukan dalam retorika yang penuh amarah,” tulis seorang analis di lembaga penelitian, International Crisis Group.

Adapun keterlibatan Turki, memicu dendam sejarah bagi Armenia yang menuduh Ankara berusaha mengingkari tanggung jawab Kesultanan Ottoman dalam pembantaian etnis Armenia pada 1924, yang ditaksir menewaskan hingga 1,5 juta orang.

Meski demikian analis meyakini tafsir nasionalistik terhadap sejarah tidak memupus budaya kehidupan damai antara kedua bangsa selama kekuasaan Uni Soviet.

“Seseorang sebaiknya mencetak ulang naskah Perjanjian Persahabatan 1724 di era Persia dan ditandatangani oleh penguasa Karabakh dari Armenia dan Khan Ganje di Azerbaijan untuk melawan Kesultanan Ottoman,” ujar Tom de Waal, peneliti senior di Carnegie Europe, usai perang mulut antara Aliyev dan Pashinyan dalam Konferensi Keamanan di München.

Baca Juga: Tak Peduli Sudah Ratusan Korban Tewas, Azerbaijan Janji Tak Akan Berhenti Menyerang Kecuali Armenia Penuhi Hal Ini

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sikap Saling Klaim Sejarah, Halangi Perdamaian Antara Armenia dan Azerbaijan"

Artikel Terkait