Penulis
Intisari-Online.com - Hingga hari Jumat (9/10/2020) ini, bentrokan antaraArmenia dan Azerbaijan masih terjadi.
Hampir 2 minggu berlalu, dua negara bekas pecahan Uni Soviet ini masihsaling tuduh atas serangan dan penembakan yang dilakukan satu sama lain.
Bagaimana kondisi dua negara ini?
Otoritas Armenia mengatakan, Stepanakert, ibu kota Nagorno-Karabah, wilayah yang menjadi sengketa kedua negara, telah dibom.
Sementara Azerbaijan mengeklaim kota terbesar kedua di negara itu, Ganja, telah luluh lantak.
Tim BBC News Rusia mengunjungi sejumlah kota di Nagorno-Karabakh dan menjadi saksi pertempuran antara kedua kubu, serta bertemu warga sipil yang terperangkap di tengah konflik.
Kami melakukan perjalanan melalui Lachin, sebuah kota yang dekat dengan perbatasan antara Nagorno-Karabakh dan Armenia.
Di sana, terdengar bunyi sirene yang menjadi peringatan kemungkinan adanya penembakan.
Militer Azerbaijan telah menyerang jembatan di kota ini selama 3 hari berturut-turut, berusaha memutus jalur transportasi antara Armenia dan Karabakh.
Serangan udara yang memekakkan telinga
Saat kami berkendara melalui pusat Lachin, pengeboman baru dimulai dan sirene serangan udara memekakkan telinga.
Sebuah mobil polisi berlomba di jalan, terdengar suara berteriak melalui pengeras suara, mendesak orang-orang untuk berlindung secepat mungkin.
Bagi kru BBC News, tempat penampungan terdekat adalah gudang bawah tanah di sebuah supermarket.
Pemiliknya, seorang perempuan bernama Nelly, menghabiskan 17 tahun tinggal di California, Amerika Serikat, sebelum memutuskan untuk pulang ke kampung halaman bersama keluarganya.
Dua ruangan berisi peti berisi tomat, kantong beras, botol brendi dan sekop, perlahan-lahan terisi orang.
Ada penduduk lokal di sini dan mereka yang, seperti kita, sedang melakukan perjalanan melalui Lachin, yang kebetulan berada di jalan ini.
Beberapa dari orang-orang ini sedang dalam perjalanan dari Stepanakert, mencoba melarikan diri dari pertempuran.
Yang lainnya sedang menuju ke sana. Nelly menawarkan kopi dan makanan untuk semua orang, yang kemudian dia buat di sini, di ruang bawah tanah.
Pengungsi dan relawan
Kembali ke ruang bawah tanah, kerumunan orang semakin banyak seiring ketika kami menunggu serangan tembakan berakhir.
Ada banyak orang di sini, meliputi jurnalis yang baru saja meninggalkan Stepanakert, beberapa pengungsi dari desa-desa dekat dengan perbatasan Azerbaijan, relawan dalam perjalanan menuju zona perang.
Beberapa perempuan menangis, sedih karena kehilangan rumah.
Sementara lainnya, lebih tenang dan berdiskusi secara tenang kapan mereka mungkin bisa kembali.
Beberapa pria merokok di pintu ruang bawah tanah, berpura-pura tidak merasa takut.
Mereka mengeklaim bahwa, meski diberitahu untuk berlindung, tapi pemboman sebenarnya jauh di Stepanakert.
Tak lama setelah mereka menuntaskan perkataannya, sebuah bom meledak tak jauh dari tempat mereka berada.
Mereka langsung bersembunyi di ruang bawah tanah bersama yang lain.
Ini adalah situasi yang mengerikan, namun dunia diam
Sebuah kota kuno Shusha berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dari Stepanekaret.
Ibu kota Nagorno-Karabakh, Stepanakert, terletak di lembah, sementara Shusha berada di dataran tinggi.
Kota itu lebih jarang dibom, namun ketika terjadi pengeboman, sangat sulit untuk mencari perlindungan.
Pada Minggu, sebuah pusat budaya di Susha tempat beberapa pengungsi bersembunyi terkena peluru.
Pihak berwenang Nagorno-Karabakh mengklaim bahwa setidaknya 4 warga sipil tewas hari itu, di Shusha dan Stepanakert.
Orang-orang dapat melihat Stepanakert dari Shusha dengan sangat baik.
Saat para jurnalis mengambil gambar dari situ selama beberapa jam, mereka akan tahu bahwa setiap pagi dan setiap malam Stepanakert dibom tanpa henti.
Kolega jurnalis BBC News yang tinggal di Stepanakert mengatakan bahwa keadaan semakin buruk setiap hari.
"Di Shusha, kami bertemu dengan orang-orang, kebanyakan sudah sangat tua, yang datang dari desa-desa yang dekat dengan perbatasan Azerbaijan," menurut laporan jurnalis BBC News.
Gevorkian adalah seorang guru dari Rusia. Dia mendapat telepon dari otoritas lokal bahwa dia disuruh pergi.
"Mereka ingin menghindari korban warga sipil sebanyak yang mereka bisa. Sekitar 50 orang telah pergi," tuturnya kepada BBC News.
Perempuan lain dalam kelompok pengungsi adalah Aida Melkanian, yang juga merasa khawatir akan orang terdekatnya.
Putranya telah menjalani wajib militer pada usia 18 tahun, dan dia juga memiliki saudara laki-laki yang secara sukarela bertempur.
Aida mengatakan dia mendengar dari kakaknya beberapa hari yang lalu, dia mengatakan padanya bahwa dia sedang diserang dan sekarang mencoba pergi ke Stepenakert dengan berjalan kaki karena tidak ada transportasi.
"Dia bilang dia tidak terluka, tapi saya tahu dari suaranya ada yang tidak beres," katanya.
"Ini adalah situasi yang mengerikan, namun dunia diam."
"Ini adalah abad ke-21 dan warga sipil dibom, itu tidak manusiawi!" ujarnya.
(Shintaloka Pradita Sicca)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Warga Nagorno-Karabakh: Perang Armenia-Azerbaijan Mengerikan, tapi Kenapa Dunia Diam?")