Kurator pertama dari museum yang kini bernama Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat ini adalah Yuvens Biakai, putra asli yang kini menjabat Bupati Asmat.
Museumlah yang lalu memprakarasi acara pesta budaya dan jadi agenda tetap tahunan bidang pariwisata.
Upaya Misi menyelamatkan tradisi Asmat bukan tanpa kritik. Ada yang berpendapat, patung dan bermacam tradisi masa silam penuh daya magis yang bertentangan dengan ajaran agama. Lha, ini kok malah dilestarikan para pastor?
Menanggapinya, Pastor Virgil Petermeier, OSC, rohaniwan dari Keuskupan Agats menjelaskan, dukungan Gereja Katolik didasari pemikiran bahwa Tuhan bersama manusia menciptakan suatu budaya.
"Betul ada yang menyimpang. Tapi ada pula budaya yang bagus untuk menunjang hal-hal bagus pula. Pantaslah kalau kesenian yang baik, ritus-ritus yang baik harus dapat penghargaan," tutur pastor yang berkarya di Asmat sejak 1974 itu.
Ancaman kebutuhan ekonomi
Empat hari berlangsungnya pesta budaya (9/10 - 12/10) bagaikan magnet yang begitu kuat menyedot perhatian seluruh warga Asmat.
Suasana Agats begitu meriah karena lebih dari 200 orang pengukir dan 100 penari yang berpartisipasi. Mereka berpesta seni dengan mengukir, menari, bernyanyi, dan melaksanakan ritual-ritual adat.
Tak kalah meriahnya rombongan turis yang datang menggunakan penerbangan reguler, beberapa penerbangan tambahan, serta kapal wisata yang sengaja datang menyesuaikan jadwal di kalender wisata.
Di antara tamu, terdapat Duta Besar Vatikan, Mgr. Leopoldo Girelli, yang sengaja datang menyambut 25 tahun penyelenggaraan pesta budaya.
Berkumpulnya ratusan pengukir pada saat bersamaan, sempat membuat pengunjung pesta budaya kesulitan mengenali ciri khas masing-masing ukiran. Baru ketika digelar demonstrasi mengukir massal, kemampuan masing-masing pengukir bisa dilihat.
Menariknya bagi pengunjung, ukiran-ukiran pada sebongkah kayu putih sepanjang 50 cm itu dikerjakan seketika, dalam waktu sekitar empat jam saja.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR