Terkumpulnya ratusan ukiran juga membuat pengunjung bisa membedakan kekhasan motif dari setiap daerah yang sebenarnya terbagi berdasarkan asal etnisnya, yaitu: Joerat, Bismam, Bacembub, Safan, Kenok, Simai, Jupmakcain, Unir Sirau, dan Aramatak.
Setiap etnis memiliki spesialisasinya masing-masing dalam menggarap bentuk-bentuk ukiran patung, patung cerita, patung bis (patung roh), panel, alat musik tifa, atau dayung perahu.
Di tengah ingar-bingarnya pesta budaya, siapa mengira jika ukiran-ukiran tradisional yang terasa begitu murni itu sesungguhnya terus terancam.
Bukan cuma kapak, beliung batu, serta kerang yang mulai jarang digunakan dalam mengukir. Atau tulang kasuari yang telah tergantikan pahat baja.
Ancaman terjadi karena interaksi pengukir dengan dunia luar yang lalu berpengaruh pada hasil karyanya.
Erik Sarkol, Kurator Museum Asmat dan juri dalam pesta budaya, mengakui kuatnya pengaruh ukiran-ukiran Jawa dan Bali pada beberapa jenis ukiran Asmat belakangan ini.
Misalnya adanya bentuk-bentuk tiga dimensi pada ukiran panel. Hasilnya memang menjadi lebih variatif, tapi menurut Erik, itu bukan murni kreasi orang Asmat.
Contoh-contoh perubahan evolutif itu bahkan bisa dilihat pada koleksi di Museum Asmat.
Ancaman lain yang tak kalah dahsyat, apalagi kalau bukan persoalan ekonomi. Wowipits yang dulu berkarya untuk ritual, lalu melestarikan seni, kini tampaknya mulai sadar akan potensi ekonominya.
Malah ada pula yang mulai mengerti arti "selera pasar". "Dulu, kalau setiap ada bentuk tertentu yang menjadi juara di pesta budaya, tahun depannya akan banyak yang meniru bentuk tersebut," kata Pastor Virgil menyayangkan.
Tidak boleh meniru
Di mata para pengukir, pesta budaya berarti sebuah kesempatan untuk beradu kreasi. Karena pesta ini sesungguhnya juga sebuah ajang lomba ukiran tradisional dari seluruh penjuru Asmat.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR