Advertorial
Intisari-Online.com - Irian Barat yang kini dikenal sebagai Papua, pertama kali dilihat oleh orang Portugis pada tahun 1511.
Selanjutnya wilayah ini sering disinggahi oleh para eksplorer Eropa lainnya, seperti orang Spanyol, Belanda, Jerman dan Inggris.
Namun tak ada yang tertarik untuk mengkalimnya.
Usaha kolonisasi pertama dilakukan oleh orang Inggris tahun 1793 di dekat Manokwari, namun tidak berlanjut.
(Baca juga: Denjaka, Pasukan Khusus TNI AL yang Misterius dan Sering Bikin Gentar Navy Seal AS)
Belanda yang saat itu sudah kuat bercokol di kepulauan Nusantara, kemudian mengalihkan perhatiannya ke Timur dan mengklaim separuh dari Pulau New Guinea sebagai wilayahnya.
Itu terjadi pada tahun 1828. Sekalipun demikian kehadiran kekuasaannya berupa pos-pos pemerintahan yang permanen barulah terjadi pada 1898, hanya dua tahun sebelum memasuki abad ke-20.
Sesuai wataknya sebagai kolonialis, maka mula-mula Belanda memanfaatkan wilayah yang begitu luas hanya sebagai tempat pembuangan bagi para pejuang Indonesia yang menentang penjajahannya sejak tahun 1920-an.
Ketika Perang Dunia II pecah di Pasifik, maka bala tentara Jepang berhasil menguasai bagian utara wilayah tersebut.
Karena memang hanya di bagian itulah Belanda membuka permukiman dan kehidupan ekonomi, sedangkan wilayah tengah dan selatan hampir tidak atau belum terjamah.
Pasukan Jenderal MacArthur tahun 1944 merebut kembali New Guinea, termasuk ibukota Hollandia (yang kemudian berganti nama menjadi Soekarnopura dan kini Jayapura).
Wilayah yang luasnya lebih dari 400.000km2 ini sesudah PD II kembali dikuasai oleh Belanda.
Namun ketika akan menguasai lagi wilayah-wilayah lainnya, Belanda menemui perlawanan dari kaum nasionalis Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
(Baca juga:DynCorp, Pabrik Tentara Bayaran yang Memproduksi Manusia Penjual Nyawa)
Konflik akhirnya diselesaikan dengan perundingan Konferensi Meja Bundar di den Haag, Agustus 1949.
Tetapi masalah pendudukan Belanda atas Irian Barat tidak diselesaikan di situ.
Keadaan status quo di Irian Barat dibiarkan untuk sementara, namun dalam satu tahun masa depan wilayah ini akan diselesaikan dengan perundingan.
Setahun kemudian cita-cita Bung Karno untuk mempersatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan tercapai pada 15 Agustus 1950, dengan pembubaran negara federal RIS yang diotaki Belanda, menjadi NKRI.
Namun Irian Barat tetap menjadi ganjalan, dan bagi Bung Karno revolusi Indonesia belum akan selesai manakala Irian Barat belum kembali ke NKRI.
Usaha merundingkannya sesuai janji dari KMB selalu menemui jalan buntu, karena Belanda ternyata enggan melepaskannya.
Berbagai tekanan terhadap Belanda dijalankan, seperti unjuk rasa, nasionalisasi, pemulangan warga negara Belanda dari Indonesia, pemutusan “hubungan khusus” Uni Indonesia-Belanda (dari hasil KMB yang bagi RI tak ada artinya), hingga putusnya hubungan diplomatik dan perekonomian.
Tetapi itu semua tak membuat Belanda tergerak.
Sampai akhirnya Bung Karno mencanangkan Tri Komado Rakyat pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta, disusul persiapan aksi militer ke Irian Barat dengan Komando Mandala yang dipimpin Mayjen Soeharto.
Situasi kritis yang dapat mengancam keamanan Asia Pasifik membuat PBB dan AS mendesak dilakukannya perundingan.
Perundingan dimulai Maret dan berakhir Agustus 1962 di Amerika, dengan diselingi “libur” karena ketidaksesuaian kedua pihak.
Dengan mediasi oleh diplomat senior Amerika Ellsworth Bunker, semua lika-liku perjuangan diplomasi dilalui, sementara di lapangan terus disiapkan kemungkinan harus perang.
Bahkan pasukan Indonesia melakukan penyusupan ke daratan Irian, baik lewat laut maupun penerjunan dari udara.
Kontak senjata juga sering terjadi. Akhirnya perundingan penuh ketegangan berakhir dengan persetujuan pengalihan kekuasaan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Pengaliahan kekuasaan itu melalui masa pemerintahan sementara PBB, dan dilengkapi act of free choice oleh penduduk Irian pada tahun 1969.
Namun begitu jika diamati ketika sudah kembali ke pangkuan NKRI, Papua baru ditangani “secara serius” setelah 72 tahun Indonesia merdeka.
Salah satunya dengan pembangunan jalan raya Trans Papua yang panjangnya lebih dari 1000 km.
(Baca juga:(Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest)