Kalau mau bisa juga dari Merauke selama 1,5 jam. Mendarat di lapangan terbang Ewer. Perjalanan masih dilanjutkan ber-speedboat, 10 menit saja, untuk merapat ke kota yang berdiri di atas lahan gambut itu.
(Baca juga: Inilah Sisi Gelap Seseorang Berdasarkan Zodiaknya, Jangan Takut dan Malu Mengakuinya)
Acara lelang ukiran memang jadi semacam puncak acara pesta tahunan ini. Karena di sinilah ukiran-ukiran Asmat sebagai buah tradisi turun-temurun selama ratusan tahun bisa dihargai sepantasnya.
Selama tiga hari acara lelang saja, terjual 203 ukiran yang totalnya Rp1,5 miliar. Harga tertinggi mencapai Rp32 juta untuk ukiran juara pertama. Angka penjualan ini termasuk tinggi dibandingkan dengan pesta budaya tahun-tahun sebelumnya.
Tak heran jika selama pesta, wajah para pengukir dari tujuh distrik di Kabupaten Asmat itu selalu berseri-seri.
Bolehlah sejenak mereka melupakan kenyataan hidup pada hari-hari biasa, saat pedagang perantara masuk ke kampung dan menjemput ukiran-ukiran serupa dengan harga seratus atau dua ratus ribu rupiah saja.
Demi tuntutan perut, para pengukir seringkali harus menyerah pada komersialisasi.
Status sosial tinggi
Pengukir atau wowipits dalam bahasa setempat, sebenarnya bukanlah profesi utama. Sehari-harinya mereka tetap bekerja memenuhi kebutuhan hidup, seperti mencari sagu, berburu, menangkap ikan, atau berkebun.
Ketika waktu sudah agak senggang, biasanya sore hari, disempatkanlah waktu untuk mengukir.
Juga tidak semua orang Asmat ahli mengukir. Diyakini ada garis keturunan tertentu yang mampu melakukannya. Dalam satu keluarga sekalipun hanya satu atau dua anak saja yang akhirnya mewarisi kemampuan ayahnya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR