Intisari-Online.com – Oktober menjadi bulan yang dinanti warga Suku Asmat, khususnya para pengukir tradisional.
Pada minggu kedua bulan itu, berlangsung Pesta Budaya Asmat, sebuah acara budaya tahunan yang dipusatkan di Distrik Agats.
Ratusan pengukir dari pelosok kampung di Papua Selatan datang membawa karya-karya terbaik mereka untuk dipamerkan, dinilai, lalu pada puncaknya dilelang.
Intisari melihat langsung kemeriahan pesta yang tahun 2008 ini telah memasuki usia perak itu.
(Baca juga: Penuhi Panggilan Hidup, Dokter Muda Ini Abdikan Hidupnya Menjaga Kualitas Kesehatan Anak-anak Papua)
---
“Ayo, lima juta rupiah!" Teriakan petugas lelang membahana di alun-alun kota Agats. Di depan mikrofon, ia seperti tak kenal lelah menawarkan sebuah patung ukiran yang dibawa sendiri oleh pengukirnya di hadapan pengunjung.
"Ayo, naik lagi sepuluh juta. Oh, ada yang dua belas juta! Tepuk tangan!"
Kemeriahan itu sekilas tidak jauh beda dengan suasana lelang benda-benda seni yang sekarang sedang menjamur di kota-kota besar.
Hebatnya, acara ini berlangsung jauh di pedalaman, tepatnya di Agats. Ukiran-ukiran tradisional dilelang kepada turis, pejabat setempat, juga warga sekitar.
Lokasi boleh terpencil, tapi jangan terkejut kalau harganya berjut-jut seperti itu.
Agats? Silakan membayangkan, jarak ibukota distrik (setingkat Kecamatan) di tengah belantara rawa-rawa Papua Selatan itu, ditempuh dari Timika selama 40 menit dengan pesawat jenis Twin Otter (18 penumpang).
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR