"Tak apa toh, tradisi kita berbeda dengan Keraton Solo dan Yogya. Masing-masing memiliki latar belakang sejarah berlainan," ujarnya di Bangsal Dalem Kanoman.
Ya, akar sejarah inilah kunci yang membedakan 1 Suro di Kota Udang.
Bagi warga Cirebon, maknanya bukan sekadar malam penuh berkat dan keramat, tapi juga hari jadi.
Tahun ini, Cirebon genap berusia 631 tahun.
"Mungkin, para pendirinya sengaja membangun Cirebon pas 1 Muharram, supaya bagus," tutur Sultan. Ini sekaligus menjawab, mengapa Pemda Cirebon merasa sangat berkepentingan memarakkan peringatan 1 Suro.
Karena aboge, terlambat sehari
Satu lagi perbedaan Cirebon dengan dua keraton lainnya adalah penetapan awal tahun Jawa.
"Satu Suro di sini, mungkin dua Suro di sana. Anggap saja kita telat sehari," tambah Ratu Mawar.
Perbedaan ini karena metode menghitung di Cirebon memang lain. "Istilahnya aboge," jelas wanita lajang usia 26 tahun itu.
Keraton sendiri, meski tak banyak, tetap menggelar sejumlah acara ritual.
Di Kanoman misalnya, satu hari menjelang 1 Muharram diadakan khitanan massal bagi anak-anak warga masyarakat sekitar.
"Mereka kami bekali dengan baju kampret" (serupa baju koko), peci, sarung, sandal, makanan, dan uang Rp50 ribu," tutur Pangeran Raja H. Muhamad Imamuddin, adik laki-laki tertua Sultan, yang kerap mewakili kakaknya di berbagai acara sosial.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR