Advertorial
Intisari-Online.com – Jangan mengaku penggemar setia film nasional kalau tak pernah menonton atau mendengar Malam Satu Suro-nya bintang seksi Suzanna.
Kisah dalam film bioskop beberapa tahun lalu itu mungkin jauh dari gambaran sebuah malam keramat.
Tapi setidaknya menunjukkan 1 Suro bermakna khusus.
Banyak yang percaya momen itu berhubungan dengan hal gaib dan pengalaman luar biasa.
Coba simak ritus di pusat-pusat kebudayaan Jawa masa silam.
Lebih khusus lagi, keraton-keraton yang dulu pernah berperan sebagai pusat kekuasaan.
Di Kasunanan Surakarta contohnya, paling terkenal adalah acara kirab pusaka kerajaan berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Muharram.
Konon, ritus itu sudah dilakukan sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745.
Ribuan orang sukarela membanjiri Kota Solo, guna menyaksikan agenda tahunan ini.
Uniknya, barisan kirab justru didahului sembilan kerbau bule, yang semuanya bernama Kiai Slamet.
Kesembilan kerbau bule dan keturunannya itu bukan kerbau sembarangan, karena mereka kesayangan Sunan.
Percaya atau tidak, mereka punya hobi berkelana.
Namun, menjelang 1 Suro, seperti sudah menghayati peran sejarahnya, mereka berkumpul kembali di alun-alun selatan Surakarta.
Suasana tak kalah sakral amat terasa di Keraton Yogyakarta.
Menjelang tengah malam, bisa disaksikan ribuan orang melakukan upacara mubeng beteng; mengelilingi benteng keraton tanpa berucap kata sepatah pun.
Sedangkan di alun-alun selatan, ratusan orang melakukan masangin, dengan mata tertutup berjalan di antara dua pohon beringin (kembar) yang ada di tengah alun-alun.
Upacara paling sakral, melakukan jamasan (pembersihan) seluruh pusaka keraton, dilakukan 26 Suro.
Masa peralihan menuju penanggalan baru Jadwa (1 Suro) atau tahun baru Islam (1 Muharram) memang kerap dianggap mendatangkan berkah.
Bahkan berkembang kepercayaan, berdoa dan tirakat di tempat-tempat bersejarah dan keramat bisa membuat keinginan terkabul.
Sebuah fenomena (oleh Sumanto Al Ourtuby, peneliti Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, Semarang, disebut sebagai agama humanistik) yang mensahkan seseorang tampil modern dan logis di suatu waktu, namun sangat tradisional dan mistis di kurun waktu yang lain.
Berlainan akar
Gejala serupa bisa ditemui dalam peringatan 1 Suro atau 1 Muharram di Cirebon, bekas pusat Kerajaan Islam besar di perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah.
Bedanya, ritus yang melibatkan dua keraton utamanya, Kesepuhan (dari kata sepuh, maknanya lebih tua) dan Kanoman (dari kata anom, lebih muda) tak sebanyak di Solo dan Yogyakarta.
“Tapi bukan berarti nilai sakralnya berkurang. Kesakralan itu tergantung bagaimana hati kita memandang,” ucap Ratu Mawar, putri Sultan Haji Muhammad Djalaludin alias Sultan Kanoman XI, penguasa teranyar keraton Kanoman.
Melihat jumlah acara, inisiatif meramaikan 1 Suro justru lebih banyak datang dari Pemda Kotamadya Cirebon.
Seperti "Helaran (pergelaran - Red.) Budaya" yang digelar di depan balai kota, dua hari menjelang 1 Muharram.
"Helaran" menyajikan pertunjukan sendratari kolosal "Babad Cirebon" yang berlangsung satu jam. Drama gerak yang dibawakan puluhan penari itu diakhiri dengan penancapan "Pohon Witana", pondokan cikal bakal Cirebon.
Selanjutnya, dilakukan pawai prajurit Keraton Kesepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Pemda pun mengadakan lomba gerak jalan, pertandingan olahraga antarinstansi.
Bahkan dua hari setelah acara "Helaran", walikota Cirebon mengadakan Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka HUT Cirebon.
Seorang wisatawan asal Belanda yang menghadiri rangkaian acara itu sempat bertanya-tanya.
"Apakah peringatan 1 Suro di Cirebon sudah berubah jadi kegiatan formal?"
Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab jika wisatawan itu hanya singgah satu dua malam di kota pantai utara Jawa itu.
Tak kurang Sultan Anom, sebutan bagi penguasa Keraton Kanoman mengakui kebenaran pandangan sang wisman.
"Tak apa toh, tradisi kita berbeda dengan Keraton Solo dan Yogya. Masing-masing memiliki latar belakang sejarah berlainan," ujarnya di Bangsal Dalem Kanoman.
Ya, akar sejarah inilah kunci yang membedakan 1 Suro di Kota Udang.
Bagi warga Cirebon, maknanya bukan sekadar malam penuh berkat dan keramat, tapi juga hari jadi.
Tahun ini, Cirebon genap berusia 631 tahun.
"Mungkin, para pendirinya sengaja membangun Cirebon pas 1 Muharram, supaya bagus," tutur Sultan. Ini sekaligus menjawab, mengapa Pemda Cirebon merasa sangat berkepentingan memarakkan peringatan 1 Suro.
Karena aboge, terlambat sehari
Satu lagi perbedaan Cirebon dengan dua keraton lainnya adalah penetapan awal tahun Jawa.
"Satu Suro di sini, mungkin dua Suro di sana. Anggap saja kita telat sehari," tambah Ratu Mawar.
Perbedaan ini karena metode menghitung di Cirebon memang lain. "Istilahnya aboge," jelas wanita lajang usia 26 tahun itu.
Keraton sendiri, meski tak banyak, tetap menggelar sejumlah acara ritual.
Di Kanoman misalnya, satu hari menjelang 1 Muharram diadakan khitanan massal bagi anak-anak warga masyarakat sekitar.
"Mereka kami bekali dengan baju kampret" (serupa baju koko), peci, sarung, sandal, makanan, dan uang Rp50 ribu," tutur Pangeran Raja H. Muhamad Imamuddin, adik laki-laki tertua Sultan, yang kerap mewakili kakaknya di berbagai acara sosial.
Sebelumnya, mereka berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati, membaca salawat dan tahlil.
Sedangkan puncak peringatan, pembacaan "Babad Cirebon", dilaksanakan persis di malam 1 Suro.
Babad yang menceritakan awal berdirinya Kerajaan Cirebon ini dibacakan langsung Pangeran Muhammad Amaludin, putra Sultan.
Dulu, acara ritual itu diadakan di bangunan Witana, di belakang Keraton Kanoman.
Tapi, karena bangunan itu sudah terlalu tua dan khawatir rusak, acara dialihkan ke pendopo utama.
Selama membaca naskah, Amal – begitu Amaludin dipanggil - didampingi tujuh abdi.
Tiga orang masing-masing membawa baki berisi naskah babad, tempat kemenyan, meja kecil, sedangkan yang empat orang membawa lilin.
Tak ketinggalan, didampingi pula enam ulama sepuh.
Usai pembacaan babad, acara dilanjutkan dengan persembahan nasi tumpeng kepada khalayak yang hadir.
Di sini tampak betapa daya tarik magis keraton masih berkibar buat kalangan tertentu.
Bak "singa lapar", ratusan pengunjung berebut tumpeng, yang jumlahnya belasan.
"Bukan makanannya, tapi berkahnya yang saya-cari," aku seorang pemilik toko di Pasar Kanoman.
la percaya, banyak sedikitnya makanan yang bisa disantap berpengaruh terhadap rezeki yang bakal diterima.
Cuci jimat tradisional
Di Keraton Kesepuhan, acara paling menonjol dalam menyambut 1 Suro hanya pencucian benda-benda pusaka yang tersimpan di museum keraton.
Itu pun tidak dilakukan persis pada malam peralihan tahun.
"Tapi secara bertahap, antara 1 hingga 10 Suro," tegas."Lurah Dalem" Kesepuhan Mohamad Maskun, pemimpin upacara pencucian.
Lurah Dalern merupakan jabatan di lingkungan keraton yang bertugas mengurusi masalah internal keraton.
Persoalan ke luar, seperti hubungan dengan penduduk sekitar, ditangani oleh Lurah Magersari.
Nah, kedua lurah (penjabatnya tak mesti keluarga Sultan) itu punya seorang atasan langsung, disebut Lurah Kepala.
Adakah upacara khusus sebelum pencucian?
"Ada pembacaan doa. Tapi, acara itu tidak melibatkan Sultan, karena pusaka utama seperti Kereta Singa Barong dan Piring Panjang limat tidak masuk daftar," tandas Maskun.
Meski tak melibatkan jimat Sultan Sepuh (sebutan penguasa Keraton Kesepuhan), tetap ada syarat yang tak bisa ditinggalkan.
Seperti larangan menggunakan zat kimia untuk melunturkan karat.
Sekuat apa pun karatnya, tetap harus dibersihkan dengan ramuan tradisional, semisal campurah jeruk nipis dan air kelapa.
Awalnya, benda-benda pusaka itu direndam dalam bak besar. Lama perendaman antara 2 hari - 1 minggu.
“Tergantung banyak-sedikitnya karat dan kotoran yang menempel," ujar Maskun.
Selesai direndam, sang pusaka dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Tak ada patokan harus memakai bunga tertentu.
"Yang penting jumlahnya tujuh macam dan, tentu saja, masih segar," tambah Maskun. Tapi, bunga-bunga pembawa wangi klasik, seperti mawar dan melati lazim dipakai.
Pusaka-pusaka kecil, seperti keris, pisau, atau tombak biasanya selesai paling awal. Sementara benda seperti tameng (perisai) perang, gamelan, dan sejenisnya jelas tak bisa diselesaikan dalam satu-dua hari.
Itu sebabnya, total waktu pencucian bisa mencapai 10 hari.
Memasuki tahun baru, ternyata tak hanya manusia yang merasa perlu "bersih diri", benda pusaka pun perlu tampilan baru.
Satu asal tapi tak senasib
Alkisah, tersebutlan sepasang putra-putri gedongan (saat itu) terusir dari rumahnya.
Keduanya anak Prabu Siliwangi, maharaja terkenal Kerajaan Hindu Pajajaran yang murka karena mereka memeluk agama Islam.
Putra mahkota Pangeran Walangsungsang dan Ratu Larasantang lantas mencari tempat tinggal yang representatif, sembari berguru pada ulama bernama Syekh Dhatul Kahfi, konon berasal dari Baghdad.
Atas saran sang guru, sekitar tahun 1430, Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuwana alias Pangeran Kiansantang mendirikan pondokan.
La menamai pondok itu Witana, berasal dari kata awit ana, artinya pertama ada.
Konon, inilah bangunah pertama alias cikal bakal Kota Cirebon.
Usai membangun padepokan, mereka berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji.
Dasar jodoh, Ratu Larasantang malah ditaksir Raja Ktsut dari Mesir. Jadilah mereka sepasang suami-istri.
Dari rahim Larasantang, lahir sepasang jejaka ganteng, Syarief Hidayatullah dan Syarief Nurullah.
Sedangkan Pangeran Kiansantang yang beristrikan Nyai Indang Geulis hanya dikaruniai seorang putri, Ratu Ayu Pakungwati.
Saking sayang pada putri semata wayangnya, pangeran membangun pesanggrahan dekat Sungai Kriyan, diberi nama serupa dengan panggilan sang belahan jiwa.
Pada 1549, pesanggrahan Pakungwati diperluas, hingga menjadi Keraton Pakungwati.
Ratu Ayu Pakungwati, dilegendakan sebagai putri nan cantik jelita, menikah dengan sepupunya Syarif Hidayatullah.
Syarif yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati, dinobatkan sebagai penguasa Cirebon, bermarkas di Keraton Pakungwati.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya, di era Penembahan Ratu Pakungwati II (1649 -1662, raja kelima setelah Sunan Gunung Jati), Kesultanan Cirebon pecah menjadi dua.
Ada banyak versi tentang perpecahan itu. Ada yang mengatakan, akibat pertengkaran kakak beradik.
Ada pula yang menyebutnya usulan penguasa Kerajaan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa.
Anak tertua Penembahan, Pangeran Muhammad Badarudin, pada 1588 membangun keraton sendiri di Kanoman, dengan memperluas bangunan Witana.
Sementara adiknya, Pangeran Muhammad Syamsudin menempati Keraton Pakungwati, yang lalu diubah namanya menjadi Keraton Kesepuhan.
Di zaman Belanda, tumbuh keraton-keraton kecil tanpa kekuasaan, seperti Kacirebonan.
Namun karena bersifat simbolis, keraton-keraton itu tak berumur panjang.
Kini, 631 tahun sejak Witana dibangun, Keraton Kesepuhan dan Kanoman tetap tegak berdiri.
Kesepuhan, yang terletak berhadapan dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, tampak seperti layaknya objek wisata dengan tembok-tembok bangunannya yang bersih terawat.
Begitu masuk, pengunjung harus membeii karcis. Rp 2.000,- per orang. Benda-benda pusaka pun ditempatkan khusus di museum dalam lingkungan keraton.
Pendek kata, bantuan Pemda Cirebon tampaknya berhasil membuat Kesepuhan jadi saksi bisu sejarah Cirebon nan asri.
Sayangnya, sulit menemui suasana serupadi Kanoman. Alun-alun utamanya (bagian tengahnya terdapat pohon beringin raksasa) kini disesaki bangunan pasar.
Wisatawan pasti lebih mengenalnya sebagai Pasar Kanoman, bukan tanah keraton.
Pintu masuk utamanya berfungsi pula setiagai pintu masuk pasar tradisional, yang becek bukan main jika turun hujan.
Tembok-tembok merah seputar keraton, kotor berlumut. Di sana-sini tercecer sampah buangan para pejalan kaki yang sekadar numpang lewat halaman keraton.
Apakah ini karena pengunjung situs bersejarah ini sama sekali tak dipungut bayaran, sehingga jadi kurang peduli dengan peninggalan sejarah?
Tak jelas, mengapa dua keraton warisan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia itu mesti berbeda nasib.
Padahal, jarak yang memisahkan keduanya hanya sekitar 1 km, berupa jalan aspal dan perumahan penduduk.
"Saya sendiri tidak tahu, mengapa bisa begini," ujar Ratu Mawar, yang masih setia tinggal dalam lingkungan Keraton Kanoman.
Jawaban dari pemda pun kurang memuaskan. Kabarnya, bantuan pemerintah amat tak sebanding dengan biaya operasional, yang mencapai Rp5 juta per bulan.
(Oleh Muhammad Sulhi seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2001)