Atas saran sang guru, sekitar tahun 1430, Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuwana alias Pangeran Kiansantang mendirikan pondokan.
La menamai pondok itu Witana, berasal dari kata awit ana, artinya pertama ada.
Konon, inilah bangunah pertama alias cikal bakal Kota Cirebon.
Usai membangun padepokan, mereka berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji.
Dasar jodoh, Ratu Larasantang malah ditaksir Raja Ktsut dari Mesir. Jadilah mereka sepasang suami-istri.
Dari rahim Larasantang, lahir sepasang jejaka ganteng, Syarief Hidayatullah dan Syarief Nurullah.
Sedangkan Pangeran Kiansantang yang beristrikan Nyai Indang Geulis hanya dikaruniai seorang putri, Ratu Ayu Pakungwati.
Saking sayang pada putri semata wayangnya, pangeran membangun pesanggrahan dekat Sungai Kriyan, diberi nama serupa dengan panggilan sang belahan jiwa.
Pada 1549, pesanggrahan Pakungwati diperluas, hingga menjadi Keraton Pakungwati.
Ratu Ayu Pakungwati, dilegendakan sebagai putri nan cantik jelita, menikah dengan sepupunya Syarif Hidayatullah.
Syarif yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati, dinobatkan sebagai penguasa Cirebon, bermarkas di Keraton Pakungwati.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya, di era Penembahan Ratu Pakungwati II (1649 -1662, raja kelima setelah Sunan Gunung Jati), Kesultanan Cirebon pecah menjadi dua.
Ada banyak versi tentang perpecahan itu. Ada yang mengatakan, akibat pertengkaran kakak beradik.
Ada pula yang menyebutnya usulan penguasa Kerajaan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa.
Anak tertua Penembahan, Pangeran Muhammad Badarudin, pada 1588 membangun keraton sendiri di Kanoman, dengan memperluas bangunan Witana.
Sementara adiknya, Pangeran Muhammad Syamsudin menempati Keraton Pakungwati, yang lalu diubah namanya menjadi Keraton Kesepuhan.
Di zaman Belanda, tumbuh keraton-keraton kecil tanpa kekuasaan, seperti Kacirebonan.
Namun karena bersifat simbolis, keraton-keraton itu tak berumur panjang.
Kini, 631 tahun sejak Witana dibangun, Keraton Kesepuhan dan Kanoman tetap tegak berdiri.
Kesepuhan, yang terletak berhadapan dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, tampak seperti layaknya objek wisata dengan tembok-tembok bangunannya yang bersih terawat.
Begitu masuk, pengunjung harus membeii karcis. Rp 2.000,- per orang. Benda-benda pusaka pun ditempatkan khusus di museum dalam lingkungan keraton.
Pendek kata, bantuan Pemda Cirebon tampaknya berhasil membuat Kesepuhan jadi saksi bisu sejarah Cirebon nan asri.
Sayangnya, sulit menemui suasana serupadi Kanoman. Alun-alun utamanya (bagian tengahnya terdapat pohon beringin raksasa) kini disesaki bangunan pasar.
Wisatawan pasti lebih mengenalnya sebagai Pasar Kanoman, bukan tanah keraton.
Pintu masuk utamanya berfungsi pula setiagai pintu masuk pasar tradisional, yang becek bukan main jika turun hujan.
Tembok-tembok merah seputar keraton, kotor berlumut. Di sana-sini tercecer sampah buangan para pejalan kaki yang sekadar numpang lewat halaman keraton.
Apakah ini karena pengunjung situs bersejarah ini sama sekali tak dipungut bayaran, sehingga jadi kurang peduli dengan peninggalan sejarah?
Tak jelas, mengapa dua keraton warisan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia itu mesti berbeda nasib.
Padahal, jarak yang memisahkan keduanya hanya sekitar 1 km, berupa jalan aspal dan perumahan penduduk.
"Saya sendiri tidak tahu, mengapa bisa begini," ujar Ratu Mawar, yang masih setia tinggal dalam lingkungan Keraton Kanoman.
Jawaban dari pemda pun kurang memuaskan. Kabarnya, bantuan pemerintah amat tak sebanding dengan biaya operasional, yang mencapai Rp5 juta per bulan.
(Oleh Muhammad Sulhi seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2001)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR