Penulis
Intisari - Online.com -Sudah jadi rahasia umum jika pulau Natuna dan perairannya menjadi sengketa antara Indonesia dan China.
Namun ternyata konflik atas Natuna tidak hanya antara Indonesia dan China.
Awal tahun 2021 lalu, Beni Sukadis, Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), menerbitkan opini di The Diplomat yang menyebut ada sengketa Indonesia dan Malaysia atas Natuna.
Hal ini terkait klaim teritori antara dua negara di perairan yang kaya akan sumber daya alam yang juga penting untuk navigasi internasional.
Salah satu isu yang penting dilindungi oleh Indonesia agar kedaulatannya terlindungi adalah Karang Singa dan perairan di sekitarnya.
Karang Singa atau Carter Rif atau Carter Shoal adalah karang kecil yang terletak di teritori perairan Indonesia.
Posisinya berada di sebelah utara Pulau Bintan di Selat Singapura, berada tidak jauh dari ketinggian air surut yang disengketakan di South Ledge.
South Ledge sendiri diklaim oleh Singapura dan Malaysia.
Selanjutnya Karang Singa juga berdekatan dengan Pulau Batu Puteh dan Middle Rocks, yang ketiganya menjadi sengketa tiga negara yaitu sengketa Pedra Branca.
Singapura dan Malaysia telah ikut dalam sengketa Pedra Branca tersebut.
Malaysia dan Singapura telah membawa urusan kepemilikan Pedra Branca ke Mahkamah Internasional (ICJ) 2008 lalu, dan diputuskan jika Pulau Batu Puteh menjadi milik Singapura, sedangkan Malaysia bisa memiliki Middle Rocks.
Namun untuk South Ledge menjadi milik negara yang memiliki kedaulatan atas perairan teritorial tempatnya berada.
South Ledge adalah daratan dataran rendah pasang surut, bisa benar-benar terendam pada saat air pasang.
Meski begitu nilainya sangat penting karena strategis dan signifikan bagi Indonesia dari segi pertahanan dan keamanan karena posisinya yang begitu dekat dengan perbatasan Malaysia dan Singapura.
Secara geografis, South Ledge terletak sedikit lebih dekat dengan Indonesia, hanya berjarak 5,46 mil laut yang memisahkannya dari Pulau Bintan.
Pasal 13 (1) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hukum Laut (UNCLOS) menetapkan bahwa ketinggian air surut dapat berfungsi sebagai dasar untuk mengukur perairan teritorial suatu negara.
Oleh karena itu, jika Malaysia menguasai South Ledge, maka Indonesia akan kehilangan sebagian wilayah perairannya di kawasan tersebut: seiris hingga 2,96 mil laut, jika jarak antara South Ledge ke Pulau Bintan terbagi rata.
Ini akan memungkinkan kapal asing untuk berlayar lebih dekat ke Bintan tanpa memerlukan persetujuan atau otorisasi dari Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan upaya pengamanan apa yang dianggap sebagai wilayah kekuasaannya di wilayah tersebut.
Agar bisa mencapai hal itu, Indonesia seharusnya segera mengukur perairan internasionalnya, dan di sinilah peran Karang Singa muncul, ia akan menjadi baseline.
Hal itu sesuai dengan Artikel 13 (1) dari UNCLOS, dan menyimpan peta teritorial yang dihasilkan PBB untuk mempublikasikan klaim wilayah maritimnya di daerah tersebut.
Malaysia sendiri tidak diam dalam perebutan Natuna, karena baru-baru ini seorang ilmuwan dari Negeri Jiran menyebut Natuna sebagai milik Malaysia.
Media Malaysia MStar7 pada Desember 2013 memuat pendapat dosen senior di Universiti Sains Islam Malaysia, Mohd Hazmi Modh Rusli yang juga Associate Fellow di Institute of Oceanography and Environment Universiti Malaysia Terengganu.
Ia mengatakan sejarah kepulauan Natuna tidak terlepas dari pengaruh negara-negara bagian di Malaya atau Malaysia.
Menurutnya jika dilihat dari peta Asia Tenggara, jelas terlihat jika Kepulauan Natuna secara alami berada sejajar dengan letak negara bagian Terengganu, yaitu jika ditarik garis lurus dari pantai negara bagian ke arah timur, sedangkan perbatasan Indonesia jelas melengkung ke atas dan tidak dalam satu garis lurus.
Dengan lantang, sang ilmuwan mengatakan masuk akal jika kepulauan Natuna tidak miliki hubungan dengan Indonesia.
"Berdasarkan sumber sejarah, masuk akal untuk mengatakan bahwa Kepulauan Natuna tidak ada hubungannya dengan Indonesia," ujarnya.
Dikatakannya, Kepulauan Natuna berbeda dengan jajahan Belanda lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Makassar dan Papua.
Wilayah-wilayah tersebut adalah milik Indonesia yang mewarisinya dari bekas penjajahnya, Belanda ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Ia menjelaskan jika konsep yang melekat dalam hukum internasional ini disebut utti possideti juris.
Ketika Perjanjian 1824 dibuat, kepulauan Natuna masih berada di bawah pengaruh kesultanan Melayu melalui kekuasaan Yang Mulia Wan Muhammad al-Fathani.
Juga, Perjanjian 1824 tidak secara eksplisit menempatkan pulau-pulau Natuna di bawah pengaruh Belanda.
Padahal, jika Traktat 1824 dicermati, Belanda tidak berhak membuka pemukiman di wilayah utara pulau Singapura yang jelas-jelas berada dalam wilayah pengaruh Inggris.
Logikanya, mengingat kepulauan Natuna masih berada dalam wilayah hukum pemerintah Johor ketika Perjanjian 1824 ditandatangani, seharusnya berada di bawah pengaruh Inggris yang merupakan pelindung kesultanan Johor saat itu.
"Oleh karena itu, mungkin ada argumentasi yang mengatakan kepulauan Natuna seharusnya bersama Malaysia ketika kesultanan Johor merdeka dalam Federasi Malaya pada tahun 1957 melalui konsep utti possideti juris," ucap Mohd Hazmi Modh Rusli.
Dijelaskannya, Indonesia secara resmi memasukkan kepulauan Natuna sebagai wilayahnya pada tahun 1956, setahun sebelum Malaya (Malaysia) merdeka dan 6 tahun sebelum Konfrontasi Malaysia dengan Indonesia.
Malaysia saat itu masih di bawah kekuasaan Inggris dan belum menjadi negara berdaulat untuk mengklaim kedaulatan atas kepulauan Natuna.
Meskipun Malaya mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 dan menjadi Malaysia pada tahun 1963, Konfrontasi Malaysia-Indonesia yang terjadi pada tahun 1962-1966 mungkin telah mengalihkan perhatian pemerintah Malaysia saat itu yang lebih fokus untuk mengakhiri konflik dengan Indonesia.
Sementara itu, Indonesia membutuhkan kepulauan Natuna agar dapat ditarik garis kepulauan yang menghubungkan pulau-pulau di dalam wilayah Indonesia untuk mewujudkan laut kepulauan untuk memenuhi cita-citanya menjadi negara kepulauan (Archipelago State) berdasarkan hukum maritim internasional.
Oleh karena itu, kemungkinan besar, atas dasar keinginan untuk mengakhiri konfrontasi dan berdamai dengan tetangga sekutu, masalah klaim kedaulatan atas kepulauan Natuna mungkin belum menjadi prioritas pemerintah Malaysia saat itu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini