Penulis
Intisari - Online.com -Indonesia kali ini mendapat teguran keras karena diam saja melihat kapal-kapal China memasuki perairan Indonesia.
Padahal Indonesia biasanya mengamuk jika China mengusik Natuna.
Mengutip Asia Times, Menteri Pertahanan dan kandidat presiden prospektif Prabowo Subianto tetap diam, membuat juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah sebelumnya mengatakan ia tidak bisa mengkonfirmasi atau menyangkal apakah Indonesia sudah berbicara dengan China terkait masuknya kapal China ke Indonesia.
Menambah misteri ini adalah kegagalan media mainstream Indonesia untuk meliput masuknya kapal-kapal China ini.
Sebelumnya, kapal China Haiyang Dizhi 10 seberat 6900 ton dan kapal Coast Guard China masuk ke Natuna pada 22 Oktober, 4 hari sebelum dimulainya pertemuan ASEAN.
Ditanya minggu lalu apakah kementerian memiliki komentar lebih jauh, Teuku Faizasyah mengatakan: "Ada pertukaran diplomasi antara China dan Indonesia terkait berbagai masalah kekhawatiran bersama, termasuk isu maritim."
Walaupun tampaknya naif, pejabat Indonesia telah sering mengatakan karena UNCLOS menetapkan koordinat yang menentukan ZEE negara tersebut, tidak ada yang perlu diperdebatkan dengan China.
Kapal-kapal China telah melakukan operasi pemetaan serupa di perairan Vietnam dan Malaysia.
Namun pakar minyak mengatakan konsentrasi berlebih pencarian Haiyang Dizhi 10 memunculkan pertanyaan mengenai apakah akan ada langkah lebih lanjut, dan apakah langkah itu.
China telah menarik kepentingan sedikit dari pengebor global karena kualitas buruk sumber hidrokarbonnya.
Namun awal tahun ini Beijing memutuskan pertama kalinya memperbolehkan firma asing mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas di dalam perbatasannya.
Produksi lokal pada 2019 mencapai 3.8 juta barel sehari, tapi China mengimpor 70% dari minyak bumi dan hampir separuh dari konsumsi gas alam.
China menarik 30% dari impor minyak mentah dari Arab Saudi dan Rusia dan mempertahankan kapasitas cadangan strategis setidaknya 240 juta barel.
Blok Tuna menjadi proyek Premier Energy sejak November 2007.
Ketika gas ditemukan di sana pada April 2014, firma Inggris itu menjual 50% sahamnya ke Zarubezhneft, yang telah lama bekerja sama dengan PetroVietnam, perusahaan minyak milik Vietnam di Hanoi.
"Tambahan untuk nilai ekonominya, blok Tuna memiliki peran geopolitik strategis karena terletak dekat dengan perbatasan dengan Vietnam," ujar kepala SKK Migas Dwi Soetjipto saat itu.
"Operasi blok Tuna akan lebih jauh menguatkan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut."
Haiyang Dizhi 10 memulai survei dasar laut yang belum pernah dimulai sebelumnya pada Agustus, dekat dengan di mana Noble Clyde Boudreaux, anjungan minyak sewaan Malaysia, meluncurkan program pengeboran dua sumur tiga bulan lalu untuk membuktikan perkiraan ladang berisi lebih dari satu triliun kaki kubik gas.
Pemerintah Indonesia dan Harbour Energy menandatangani kesepakatan tahun lalu dan akan memperbolehkan perusahaan untuk menyedot gasnya 90 km menyeberangi perbatasan sampai jaringan pipa lepas pantai Vietnam.
Zarubezhneft baru-baru ini membeli saham Rosneft dalam dua proyek lepas pantai, bersamaan dengan pipa 400 km memanjang tenggara dari kota pantai Vung Tau.
Pakar minyak mengatakan sumber itu akan memperbesar kapasitasnya lebih dari dua kali lipat untuk menyesuaikan pipa 220 km ke tiga ladang Natuna Barat yang dimiliki oleh Premier dan dua firma lain yang telah memasok gas tersedot ke Singapura untuk 25 tahun terakhir.
Kini telah berkurang dengan drastis, gangguan pada suplai itu pada Juli lalu dan penurunan tekanan dari Corridor Block Sumatra Selatan mungkin mendorong Singapura meningkatkan ketergantungan LNG.
Singapura yang selama ini bergantung pada gas dari Indonesia dan Malaysia dan juga pengguna LNG untuk 95% listriknya, telah memperpanjang terminal penerima LNG pertamanya dan merencanakan yang kedua untuk siap mengalir pada 2025 - 2030.
Proyek energi surya yang ambisius juga sedang berjalan.
Menariknya, pola pencarian Haiyang Dizhi tetap terbatas pada area selatan blok Tuna dan sejauh 112 kilometer di dalam ZEE Indonesia, secara kasar mengkonfirmasi apa yang mereka yakini sebagai isi dari sembilan garis putus-putus China.
Pakar mengatakan kapal akan mengambil sampel dari dasar laut, mencari minyak dan sumber data lain dan mencoba menentukan apakah topografi dan air yang terhitung dangkal dapat mendukung konstruksi karang buatan.
"Mereka akan mendapatkan informasi berharga," ujar seorang pakar minyak di Jakarta yang familier dengan Natuna dan yakin China telah mengakhiri fase terbaru penelitian mereka.
"Hal itu memberi tahu mereka banyak, tidak hanya dari pandangan sumber tapi juga untuk tujuan militer masa depan."