Find Us On Social Media :

Banyak Warga Keturunan China Tinggal di Indonesia, Terkuak Satu Daerah Ini Malah Tak Perbolehkan Warga Keturunan China Bisa Miliki Lahan yang Sampai Buat WNI Nonpribumi Protes Mati-matian

By May N, Senin, 18 Oktober 2021 | 14:38 WIB

Ilustrasi WNI keturunan China

Intisari - Online.com - Keturunan China sudah menetap dan tinggal di Indonesia lebih lama daripada bangsa ini dijajah oleh kolonial Belanda.

Mereka datang, berbisnis lalu menetap di berbagai penjuru Indonesia sampai kemudian memiliki keturunan sampai sekarang.

Meski begitu, tahukah Anda jika ada suatu daerah yang tidak memperbolehkan warga keturunan China tidak bisa memiliki hak kepemilikan atas suatu tanah?

Tahun 2019 lalu, sebuah protes dilayangkan seorang Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan China kepada Mahkamah Konstitusi mengeai Keistimewaan Daerah istimewa Yogyakarta (DIY).

Baca Juga: Berangkat Selepas Sholat Subuh, Beginilah Cerita Tim Evakuasi TNI AU Selamatkan WNI dari Kekacauan di Afghanistan, Meraba dalam Kegelapan Tak Jadi Rintangan

Protes diajukan oleh Felix Juanardo Winata, yang waktu itu masih merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UGM.

Ia mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (2) Huruf d Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 mengenai Keistimewaan DIY.

Pasal tersebut berbunyi: "Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: d. pertanahan".

Mengutip BBC, Felix menuliskan alasan permohonannya yang tertera di laman MK sebagai berikut:

Baca Juga: ‘Manusia Berhamburan di Jalan, Pengemudi Mobil Tak Ikuti Lagi Aturan’ Makin Tak Menentu Setelah Taliban Berkuasa, WNI Dievakuasi dari Afghanistan, Segera Tiba di Indonesia

"Pemberlakuan Pasal a quo (tersebut) telah memberikan kewenangan Keistimewaan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengurus bidang pertanahannya sendiri, secara nyata telah menciptakan kesewenang-wenangan dalam menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan urusan pertanahan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta."

Felix merasa pasal itu membuat WNI keturunan China atau Tionghoa tidak bisa menguasai suatu hak atas tanah dengan status hak milik di daerah DIY.

"Karena pemberlakuan Pasal a quo telah memberikan legitimasi bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tetap memberlakukan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah seorang WNI non pribumi," sebutnya.

Ternyata, aturan kepemilikan tanah oleh WNI nonpribumi di tanah Yogyakarta sudah diatur oleh Kesultanan Yogyakarta sejak lama.

Baca Juga: Picu Pembakaran 7 Gereja dan Perobohan Patung Ratu Inggris di Kanada, Perampasan 'Anak Pribumi' Malah Diklaim Pernah Dilakukan Militer Indonesia di Daerah Kaya Minyak Ini

Paku Alam VIII membuat surat instruksi bernama Instruksi 1975 atau Instruksi Wagub DIY 1975, atau Instruksi 898/1975 yang mengatur hal sensitif ini.

Beliau memerintahkan agar tidak memberikan hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi, meliputi Eropa atau kulit putih, kemudian Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yaitu orang Tionghoa, Arab, India, atau non-Eropa lainnya di Yogyakarta.

Mereka hanya diberi hak guna saja.

Felix mengajukan gugatan tersebut karena merasa adanya "perilaku diskriminatif atas dasar ras dan suku terhadap WNI berketurunan Tionghoa".

Baca Juga: Dianggap 'Setengah Dewa' dan Juru Penyelamat Masyarakat Jawa Dahulu Kala, Sosok Pangeran Diponegoro Ternyata Memiliki Tujuh Istri, Belum Lagi Selir-selirnya, Siapa Saja Mereka?

Pasalnya ia merasa WNI keturunan Tionghoa tidak bisa menguasai suatu hak atas tanah dengan status hak milik di Yogyakarta.

Felix memegang Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyebut jika hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai seseorang atas suatu tanah.

Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1960 yang menyebut jika hak milik hanya bisa dimiliki oleh WNI.

"Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat berketurunan Tionghoa sepanjang merupakan WNI berhak untuk menguasai suatu tanah dengan status hak milik," tuturnya dalam permohonannya.

Baca Juga: Tolak Pinangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Syahrir, hingga Soekarno, Ini Sosok Gusti Nurul Gadis Kraton Solo yang pada 1937 'Moncer' Masuk Majalah AS

Gugatan Felix bukanlah yang pertama, ada lagi WNI keturunan China lainnya, Handoko, yang menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.

PTUN Yogyakarta melalui putusan Nomor 179K/TUN/2017 mengatakan tidak bisa mengadili, karena instruksi tersebut bukan sebuah diskresi.

Permohonan pengujian uji materi instruksi itu juga sudah didaftarkan Handoko ke Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 13 P/HUM/2015.

Namun, MA juga menolak karena instruksi itu bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah UU berdasarkan rezim hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 12 tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 mengenai Hak Uji Materiil.

Baca Juga: Pusaka Jawa Dipercaya Bisa Hilang dan Kembali dengan Sendirinya, Begini Ramalan Sultan Hamengku Buwono I tentang 5 Wayang dan Negara Ini

Lantas, mengapa warga nonpribumi tidak boleh punya tanah di Yogyakarta?

Mengutip Kompas.com, Prof Suyitno, ahli pertanahan yang juga anggota Parampara Praja Yogyakarta, menjelaskan mengapa Paku Alam VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY mengenai Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.

Sejarah dimulai ketika Hindia Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels tahun 1808-1811.

Saat itu banyak warga pribumi menjual tanah ke perusahaan asing.

Baca Juga: Pantesan Walau Bertentangan dengan Ideologi Indonesia, PKI Mudah Saja Masuk ke Indonesia, Sosok yang Membawa Paham Komunis Ternyata Bukan Orang Indonesia, Ini Sosoknya

Kemudian ketika kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830, diberlakukanlah tanam paksa, sampai ada peraturan Bealnda staatsblad tahun 1870 dan diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod, berisi larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing.

Aturan ini ditulis di staatsblad tahun 1875 No 179.

Mundur 5 tahun sebelumnya, pada tahun 1870, saat itu modal asing diizinkan untuk masuk, yang disebut dengan politik pintu terbuka (Opendeur-Politik).

Tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangannya sendiri dan kemudian menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, sampai pemerintah Belanda menerapkan UU Agraria 1870.

Baca Juga: Tanam Paksa, Bukti Nyata Kerentanan Pemerintah Hindia Belanda yang Dibalut dengan Arogansi Sewenang-wenang

"Diasingkan itu dijual, disewakan, dipinjamkan itu enggak boleh. Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar," ujar Suyitno.

Kemudian berdasarkan R Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi, tujuannya memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat.

Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground, dan kemudian aturan yang sama juga dipakai di tanah milik Kadipaten Pakulaman.

Kemudian status daerah khusus dan istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2, menjadi pemerkuat status kepemilikan tanah di Yogyakarta.

Baca Juga: Dibutuhkan 3 Perjalanan Berbahaya Kapal Perang untuk Evakuasi, Begini Ketika Pasukan Sekutu Dipukul Mundur oleh Jepang di Timor Leste selama Perang Dunia II

Merunut sejarah sendiri, Yogyakarta memang berbeda dengan daerah lain yang didatangi pendatang dari berbagai negara.

Pasalnya hanya warga Tionghoa yang bekerja di sekitar Yogyakarta.

Ialah para pelaku bisnis jual beli emas, pemungut cukai pasar sampai simpan pinjam uang di sekitar Kampung Ketandan, dekat Pasar Tradisional Beringharjo.

Keturunan Tionghoa tinggal terbatas di sekitar perkotaan, tidak sampai wilayah pedesaan.

Baca Juga: Apa yang Didapat Pemerintah Kolonial Memaksakan Tanam Paksa?

Yogyakarta juga lebih ramah bagi keturunan Tionghoa, tidak seperti Solo, yang juga jadi tujuan keturunan Yaman atau dari bangsa Arab yang juga sama-sama ingin berbisnis.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini