Apa yang Didapat Pemerintah Kolonial Memaksakan Tanam Paksa?

Maymunah Nasution

Penulis

Masa Kolonial di Indonesia

Intisari-online.com -Pada zaman penjajahan Indonesia oleh Hindia Belanda, ada sebuah sistem perbudakan bernama Sistem Tanam Paksa.

Nama lain program ini adalah Culturstelsel.

Sistem mengharuskan setiap petani desa wajib menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang ditentukan pemerintah kolonial.

Saat itu jenis tanaman yang dijadikan prioritas adalah kopi, teh, tebu dan nila.

Baca Juga:Isi Perjanjian Bongaya, 'Perjanjian Damai' yang Menjadi Awal Keruntuhan Kerajaan Gowa Makassar

Tujuan pemerintah kolonial Belanda melaksanakan sistem tanam paksa adalah guna memperbaiki kas negara.

Kas negara saat itu terkuras membiayai Perang Jawa.

Selain itu mereka perlu melunasi utang negara.

Harian Kompasmewartakan ide tanam paksa sempat ditentang beberapa kalangan pejabat Hindia Belanda.

Baca Juga:Asal-usul Warga Suriname Jawa, Mulanya Hanya 94 Orang, Mereka Dikirim ke Wilayah Amerika Selatan Itu untuk Lakukan Hal Ini

Termasuk yaitu Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda.

Namun karena Raja Belanda Willem I setuju maka tetap dilaksanakan.

Pada dasarnya, tujuan tanam paksa adalah mengembalikan kondisi keuangan Belanda selepas krisis keuangan usai Perang Diponegoro.

Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial.

Baca Juga:Bukan karena Murka Diberi Label Teroris, Ternyata Ini Alasan KKB Ancam Orang Jawa di Tanah Papua, Tragedi di Bumi Borneo Pemicunya

Sistem tanam paksa berjalan kurun 1830-1870, sebelum kemudian dicabut karena dinilai sangat menyengsarakan rakyat Hindia Belanda.

Rakyat diperlakukan sebagai hamba, dieksploitasi tenaga dan tanahnya untuk kekayaan Kerajaan Belanda.

Sistem tanam paksa Sistem tanam paksa yang berlaku adalah penduduk wajib menyediakan tanahnya maksimal seperlima dari tanah miliknya untuk ditanami dengan tanaman komoditas ekspor atau laku di pasaran Eropa.

Selain menyediakan tanah, petani juga harus menanam dan merawat tanaman tersebut dengan batasan tak boleh melebihi waktu yang dibutuhkan untuk menanam padi.

Baca Juga:Latar Belakang Perjanjian Roem-Royen dan Apa Saja yang Disepakati dalam Perundingan antara Indonesia dan Belanda Ini

Tanah yang ditanami komoditas tanam paksa adalah tanah yang dibebaskan dari kewajiban pajak tanah.

Pemerintah juga membayar tanaman yang ditanam petani apabila ada selisih harga jual tanaman dengan pajak tanah.

Sistem tanam paksa lainnya adalah pemerintah bertanggung jawab seluruhnya atas kegagalan panen.

Namun demikian, praktik di lapangan banyak terjadi penyelewengan, terutama yang dilakukan oleh pejabat pribumi.

Baca Juga:Inilah Isi Perjanjian Renville, Pertemuan untuk Selesaikan Konflik Indonesia-Belanda yang Diinisiasi PBB dengan Membentuk Komisi Tiga Negara

Beberapa penyimpangan antara lain tanah yang ditetapkan sebagai area tanaman komoditas melebihi ketentuan, tanah yang dipakai untuk tanam paksa tetap dikenakan pajak.

Kemudian kerugian akibat karena gagal panen yang ditanggung petani, serta kelebihan dari selisih harga jual dan pajak tanah yang tidak diserahkan ke petani.

Salah satu penyebab banyaknya penyelewengan sistem tanam paksa adalah tingginya target yang ditetapkan penguasa lokal dari bupati hingga pejabat di bawahnya.

Para pejabat lokal akan mendapatkan hadiah dari pemerintah Hindia Belanda yang besarannya disesuaikan dengan hasil panen yang diserahkan atau skema persenan tanaman (Cultuur procenten).

Baca Juga:Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda Didapatkan Susah Payah, Baru Sebentar Keutuhan RI Kembali Terancam oleh Sederet Pemberontakan Ini

Cultuur procenten ini mendorong penguasa pribumi menekan petani agar menanam sebanyak-banyaknya tanaman komoditas.

Selain itu, bagi petani yang tak memiliki lahan, diwajibkan menggantinya dengan bekerja di pabrik atau perkebunan milik Belanda selama setidaknya 66 hari.

Penerapan sistem tanam paksa sendiri memberikan beberapa manfaat bagi Hindia Belanda.

Pemberlakukan tanam paksa membuat hasil perkebunan meningkat pesat.

Baca Juga:Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949): Nekat Lakukan Agresi Militer, Belanda Malah Kehilangan Dukungan Sekutunya hingga Dihujat Negara-negara di Dunia

Pemerintah pun membangun banyak infrastruktur selama era tanam paksa seperti perbaikan kualitas jalan, pembangunan besar-besaran jaringan rel kereta api, jembatan, pelabuhan, hingga pabrik-pabrik untuk mengolah hasil perkebunan.

Kendati demikian, sistem tanam paksa menciptakan penderitaan penduduk Hindia Belanda.

Banyak terjadi kelaparan karena petani tak sempat menggarap tanaman pangan seperti padi lantaran waktu maupun tanahnya habis untuk menanam tanaman komoditas ekspor.

Daerah paling terdampak parah dari sistem tanam paksa adalah Priangan Jawa Barat.

Baca Juga:Berakhir dengan Pengakuan Kedaulatan, Ternyata Konflik Indonesia-Belanda Membuat AS Berpaling 'Mengubah Kesetiaan', Mau Tak Mau Tekan Belanda untuk Melepas Bekas Jajahannya

Banyaknya protes dan reaksi yang muncul membuat pemerintah Belanda mulai menghapus Sistem Tanam Paksa secara bertahap.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian resmi menghentikan sistem tanam paksa pada tahun 1870 dengan terbitnya UU Agraria dan UU Landreform.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini