Penulis
Intisari-Online.com - Keberadaan warga Suriname Jawa menjadi keunikan yang membuat negara di Amerika Selatan itu banyak dikenali oleh masyarakat Indonesia.
Ya, nun jauh di wilayah Amerika Selatan tersebut, tinggal orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Di negara dengan luas wilayahnya sekitar 163.265 kilometer persegi itu, banyak terdapat warga yang merupakan keturunan etnis Jawa.
Disebut, sekitar 15 persen dari penduduk di negara bernama Republik Suriname tersebut beretnis Jawa.
Suriname merupakan negara yang baru merdeka 46 tahun yang lalu, tepatnya pada 25 November 1975.
Kemerdekaan itu didapat setelah ratusan tahun wilayah tersebut dikuasai oleh Belanda sejak 1667.
Kesamaaan nasib antara Indonesia dan Suriname yang dijajah Bangsa Belanda itu erat kaitannya dengan asal-usul warga Suriname Jawa yang ada di sana.
Sekitar tahun 1890, orang-orang dari Jawa mulai dikirim ke Suriname oleh Belanda yang mengadakan perjanjian dengan Inggris.
Perjanjian antara Belanda dan Inggris adalah tentang mendatangkan imigran atau buruk kontrak ke Suriname yang saat itu perekomiannya tidak menentu karena dihapuskannya perbudakan pada 1 Juli 1863.
Padahal, saat itu perkebunan masih sangat memerlukan tenaga buruh.
Maka, ditandatanganilah perjanjian tersebut pada pada tahun 1870.
Para buruh buruh kontrak (imigran) Hindustan pertama dari India didatangkan mulai tahun 1873. Ini berlangsung sampai tahun 1914.
Sementara buruk kontrak dari India didatangkan, pada 9 Agustus 1890 gelombang lainnya dimulai, yaitu dengan mendatangkan buruh dari Jawa.
Para imigran dari Jawa dipekerjakan sebagai buruh murah di perkebunan yang dikuasai Belanda tersebut.
Kelompok imigran Indonesia pertama yang tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890 berjumlah 94 orang.
Kelompok tersebut direkrut oleh De Nederlandsche Handel Maatschappij, untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marienburg.
Namun, empat tahun kemudian, tepatnya 1894 perusahaan yang sama mendatangkan lebih banyak lagi imigran dari Jawa.
Gelombang kedua kedatangan imigran Jawa yaitu sebanyak 582 orang.
Selanjutnya mulai tahun 1897 kedatangan para imigran dari Indonesia ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Banyaknya imigran Suriname dari Jawa semakin meningkat, bahkan dari tahun 1890 hingga 1939, jumlah imigran Indonesia asal Jawa tersebut mencapai 32.956 orang.
Lebih dari 30 ribu orang Jawa itu didatangkan ke Suriname dengan menggunakan 34 kali pengangkutan.
Imigran keturunan Jawa tersebut bekerja sebagai buruh perkebunan Belanda berdasarkan sistem kontrak.
Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya (repatriasi) bilamana telah habis masa kontraknya.
Dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air
Pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi tercatat 1.700 orang. Repatriasi massal terakhir pada 1954, ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia.
Meski banyak yang kembali ke Indonesia, namun sebagian besar imigran Jawa ternyata memilih tetap tinggal di Suriname meski hubungan kontrak mereka dengan pemilik perkebunan telah berakhir.
Mereka tetap tinggal dan bekerja di perkebunan itu sebagai pekerja bebas.
Para imigran Jawa tidak terpengaruh oleh buruh India yang pada umumnya meninggalkan pekerjaan mereka, segera setelah masa kontraknya habis.
Bahkan, ketika masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot tetap tak membuat mereka meninggalkan Suriname.
Banyak dari mereka beralih profesi dari buruk perkebunan menjadi buruh industri.
Mereka pun berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton.
Seiring berjalannya waktu, orang Jawa yang bertahan di Suriname bukan hanya jadi buruh melainkan juga jadi politisi bahkan menteri.
Itulah bagaimana awal mula keberadaan warga Suriname Jawa.
(*)