Intisari-Online.com - Tak lama setelah deklarasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Indonesia, justru konflik Indonesia-Belanda dimulai, bahkan sampai empat tahun kemudian.
Pasukan Belanda datang kembali ke Indonesia pada bulan September 1945, dan ingin menguasai lagi wilayah bekas jajahannya.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Inggris ditunjuk oleh aliansi Sekutu untuk melucuti dan memulangkan tentara Jepang di Indonesia.
Kesempatan itulah yang digunakan Belanda untuk masuk kembali ke Nusantara.
Kedatangan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang dibentuk Inggris untuk melakukan tugasnya, diboncengi oleh pemerintah sipil Hindia-Belanda (NICA).
Perlawanan dilakukan oleh rakyat daerah untuk menolak kedatangan NICA, menyebabkan terjadi pertumpahan darah, seiring upaya diplomatik yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
Konflik Indonesia-Belanda itu terjadi hingga tahun 1949, yang berakhir dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda setelah ditandatanganinya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dalam proses negosiasi agar Belanda mengakui kemerdekan Indonesia, ada peran Amerika Serikat yang pada akhirnya 'mau tak mau' menekan sekutunya itu.
Mengutip The United State-Indonesia Society, AS awalnya mendukung pendudukan Eropa di wilayah Asia Tenggara.
Begitu pula terhadap pendudukan Belanda di Indonesia.
Dikatakan, sebelum tahun 1947, kebijakan AS terhadap kemerdekaan Indonesia dapat digambarkan sebagai 'ketidakpedulian yang jinak'.
AS pada tahun-tahun itu lebih mementingkan pemulihan ekonomi Belanda di Eropa daripada status koloni Belanda.
Namun, kemudian dengan 'Aksi Polisi' Belanda di Hindia-belanda yang dikenal juga dengan Agresi Militer Belanda, pada Juli 1947, situasi mulai berubah.
Ketegangan meningkat antara AS dan negara-negara lain yang mengakui kemerdekaan Indonesia, seperti Australia dan India.
Pada bulan Agustus 1947, AS setuju untuk menjadi kepala "Komisi Jasa Baik" (GOC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (dibentuk di bawah Komisi PBB untuk Indonesia), dikenal juga dengan nama Komisi Tiga Negara.
Itu dilakukan dengan kebijakan awal bahwa "Belanda harus mempertahankan saham yang cukup besar di Belanda Hindia Timur."
Sebagai ketua Good Offices Committee, AS memainkan peran penting dalam menjadi mediator antara Indonesia dan Belanda.
AS berperan penting dalam menetapkan Perjanjian Renville pada Januari 1948 yang melembagakan gencatan senjata.
Namun, Perjanjian Renville sendiri kemudian dilanggar dengan aksi militer yang dilakukan kembali oleh Belanda.
Meski menghancurkan, namun peristiwa itu pula yang membuat dunia intrnasional lebih bersimpati kepada Indonesia.
Amerika Serikat semakin tak punya pilihan.
Mengutip Strategic Review, Hanya setelah tindakan polisi Belanda kedua pada bulan Desember 1948 itu, para pembuat kebijakan Amerika mulai mengubah kesetiaan mereka.
Dikatakan, bahkan Washington bergerak tersendat-sendat dan sering kali dengan enggan, tidak termotivasi oleh idealisme atau altruisme daripada oleh faktor-faktor yang lebih nyata.
Faktor lebih nyata yang mendorong AS kemudian adalah bobot opini domestik dan internasional; perhatian terhadap kelangsungan hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa; perhitungan cermat atas prioritas Perang Dingin yang lebih luas, alih-alih kepentingan mendukng sekutunya.
Dan tak kalah pentingnya, kekuatan perlawanan gerilya Indonesia yang kuat dan mampu menggagalkan semua upaya Belanda untuk mengamankan pulau-pulau juga merupakan salah satu faktor itu.
Itu mengekspos kebijakan Den Haag sebagai kegagalan yang parah.
Baru pada saat itulah, ketika Belanda sendiri tampak menjadi ancaman terbesar bagi stabilitas dan ketertiban di Indonesia, yang dalam prosesnya mengancam dapat membayahakan kebijakannya, AS pun semakin menekan Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Kebijakan AS tersebut termasuk kaitannya dengan Marshall Plan dan NATO.
AS menekan Belanda dengan mengancam akan menahan bantuan Marshall Plan Belanda jika Belanda tidak menyetujui kemerdekaan Indonesia. Marshall Plan sendiri dimaksudkan untuk membantu membangun kembali Eropa setelah PD II.
Perubahan kebijakan AS pun membuka jalan bagi terjadinya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Setelah melalui Perundingan Roem Royen dan Konferensi Meja Bindar, penyerahan kedaulatan Belanda ke Republik Indonesia akhirnya dilaksanakan pada 27 Desember 1949.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari