Penulis
Intisari-Online.com -Aksi pengambilan paksa seorang anak pribumi dari orangtuanya, seperti yang terjadi di Kanada, ternyata pernah dilakukan pula oleh pemerintah Indonesia.
Seperti diketahui, saat ini Kanada tengah berada dalam kondisi 'panas' akibat protes besar-besaran di dalam negeri.
Terhitung, sudah ada 7 gereja yang mengalami kerusakan parah, bahkan ada beberapa gereja yang dibakar.
Sementara itu, pada Kamis (1/7/2021), patung Ratu Elizabeth II dan Ratu Victoria di Kanada digulingkan serta dihancurkan.
Mereka pun tak ragu untuk melontarkan umpatan saat menggulingkan dan menghancurkan kedua patung tersebut.
“Tidak ada kebanggaan dalam genosida,” teriak salah seorang warga yang dalam video aksi mereka.
"Saya membantu meruntuhkan wanita jalang itu," ucap salah seorang lainnya dalam video penggulingan patungRatu Inggris Elizabeth II (95 tahun).
Bahkan patung Ratu Victoria, yang tak lain merupakan neenk buyut dari Ratu Elizabeth II dipenggal oleh pendemo.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi seiring dengan ditemukannya ratusan (ada yang menyebut lebih dari seribu) kuburan anak-anak pribumi, Rabu (30/6/2021).
Kuburan-kuburan tak bernama tersebut ditemukan di bekas sebuah sekolah yang dijalankan oleh Gereja Katolik yang didanai oleh pemerintah.
Selama bertahun-tahun, sekolah tersebut telah secara paksa memisahkan anak-anak pribumi dari orang tua mereka sendiri.
Dalam rangkaian peristiwa keji yang dikenal dengan "Sixties Scoop" tersebut, pemerintah Kanada yang melakukan asimilasi paksa.
Selama tahun 1950-an hingga 1980-an, anak-anak pribumi inidipaksa melepasidentitas asli mereka sebagai suku asli Kanada.
Melalui undang-undang khusus, gereja berhak untuk mengambil paksa anak-anak pribumi dari orang tuanya.
Setelah diambil dari rumah mereka sendiri, anak-anak ini kemudian ditempatkan ditempatkan di panti asuhan untuk kemudian diadopsi oleh keluarga kulit putih, tidak hanya yang berada di Kanada dan Amerika Serikat.
Hingga pada akhirnya mereka kehilangan nama, bahasa dan hubungan dengan jejak leluhur mereka.
Namun, bagian terburuk dari itu semua adalah terkait dengan hukuman yang dijatuhkan kepada setiap anak yang melanggar.
Mereka bisa dihukum secara fisik jika sampai melanggar aturan terkait larangan untuk tak lagi mengenakan segala atribut suku mereka.
Bahkan beberapa saksi hidup menyebut mereka dilecehkan secara seksual jika sampai ketahuan mengucapkan bahasa asli pribumi Kanada.
Hal inilah yang diduga menjadi latar belakang banyaknya kuburan anak yang ditemukan di sekitar bekas gereja sekaligus sekolah asimilasi.
Indonesia "menirunya"?
Praktik keji di atas tentunya akan mudah untuk mendapatkan tentangan dari hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Hanya saja,merujuk ABC News, Indonesia, khususnya pihak militer, disebut pernah melakukan hal serupa.
Hal tersebut terjadi di periode 1975 hingga 1999, kala Timor Leste masih menjadi provinsi Indonesia.
ABC News melaporkan bahwa sekitar 4.000 anak Timor Leste diambil paksa tanpa persetujuan orang tua mereka.
Beberapa dikirim untuk melakukan pekerjaan kasar untuk militer Indonesia. Sebagian lainnya adanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga.
Salah satu "korban" dari kebijakan tersebut adalah Kalistru yang mengaku dibawah ke Indonesia oleh militer saat dirinya baru berusia 8 tahun.
Di menjadi bagian dari 'generasi yang dicuri Timor Leste' usai diselundupkan oleh seorang tentara bernama Sumia Atmaja.
Pria yang kini bernama Alis Sumiaputra tersebut kemudian diadopsi oleh sang tentara dan tinggal di Jawa Barat.
Alis memang mengaku bahwa dirinya bahagia tinggal bersama keluarga Indonesianya, namun dia mengaku merindukan tanah asalnya.
“Hati saya merindukan orang tua saya sejak ayah angkat saya meninggal,” ucap Alis.
"Saat itulah saya teringat semua saudara kandung saya. Dan entah mengapa saat itulah Nina datang mencariku."