Advertorial
Intisari-Online.com -Salah satu kisah yang jarang terungkap namun mudah menarik perhatian dari pendudukan Belanda di Indonesia adalah sosok para nyai.
Kisah mereka sangat lekat di mata warga lokal namun justru ditutup-tutupi setengah mati oleh VOC agar kisahnya tidak sampai ke negeri asal mereka, Belanda.
Maklum, kisah para nyai pada dasarnya merupakan praktik pergundikan dari para meneer kompeni yang pada akhirnya malah melahirkan bisnis prostitusi di Batavia.
Beberapa sosok nyai bahkan menjadi kisah abadi yang kerap menginspirasi cerita atau bahkan film.
Sebut saja sosok Nyai Dasima dan Mariam atau yang lebih dikenal dengan Si Manis Jembatan Ancol yang kisah tragis hidup mereka sebagai nyai menginspirasi cerita film.
Lalu, bagaimana kisah para nyai sebenarnya? Benarkah di antara kemewahan yang mereka dapatkan, ada siksaan dan cacian tanpa henti yang mereka terima baik dari 'meneer' yang memiliki mereka maupun dari masyarakat?
Sejak Jan Pieterszoon Coen mulai mendirikan kastil di pinggiran Sungai Ciliwung untuk kemudian membangun kota bernama Batavia di awal abad ke-17, sejak itulah keberadaan budak mulai tumbuh.
Semula hanya digunakan sebagai tenaga kerja. Namun, kemudian budak menjadi penakar status sosial bagi pejabat VOC. Maka sistem perdagangan budak pun berkembang, calo budak pun menjamur.
Keberadaan budak perempuan ikut menghidupkan, bahkan menyuburkan, praktik kumpul kebo di Batavia. Seperti sudah pernah ditulis sebelumnya, sistem pergundikan jadi cikal bakal prostitusi. Kasus cinta gelap serta dunia per-nyai-an muncul dan terus berkembang.
Thomas B Ataladjar dalam Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di tepian Muara Ciliwung menyebutkan, kata nyai berkonotasi lain di masa kompeni, khususnya di zaman para meneer kumpeni berkuasa karena punya arti gundik, selir, atau wanita peliharaan pria Belanda.
Keadaan itu terjadi karena sebagai serdadu mereka tak bisa membawa serta istri atau memang masih bujangan. Tatkala hubungan cinta terjalin antara perempuan pribumi dengan pria Belanda maka perempuan itu hanya akan jadi gundik alias nyai.
Ternyata, penggemar samen leven dengan nyai tak sedikit, malah jadi tren kumpeni. Kehidupan para nyai bahkan menjadi kisah tersendiri dalam sejarah kota dan bangsa ini.
Kisah yang paling lazim kita dengar adalah Nyai Dasima, sebuah kisah populer di kalangan warga Betawi. Perempuan asal Ciseeng, Bogor, ini hidup di antara tahun 1805-1830 dan menjadi gundik meneer Edward William.
Perjalanan hidup dan cinta Dasima direkam dalam buku yang ditulis oleh SM Ardan. Edward ternyata hanya memerlukan Dasima di kamar saja, maka ketika kemudian muncul seorang pria, Samiun, yang bersedia menikahinya, Dasima pun meninggalkan Edward.
Ternyata, Samiun hanya ingin menggerogoti harta Dasima. Nyawa Dasima habis di tangan Bang Puasa atas perintah Samiun. Mayatnya ditemukan di sekitar kali di Kwitang.
Nyai Dasima versi G Francis melukiskan, selain Edward, semua lakon bertabiat buruk. Kisah dibikin agar pembaca mendapat kesan negatif tentang masyarakat Betawi. Maklum saja, versi ini adalah versi kolonial.
Selain Nyai Dasima, ada nyai lain yang juga bernasib tragis, Mariam. Ia gundik sinyo Belanda, John. Cinta sembunyi-sembunyi antara Mariam dan John akhirnya terputus dengan adanya Husin.
Husin, tukang sado, semula hanya menolong Mariam dengan berpura-pura mengawini Mariam agar hubungan dengan cowok bule tak terendus sang ayah.
Namun, pernikahan itu ternyata malah membakar api cemburu di hati John. Tak tanggung-tanggung, Husin dan Mariam pun ditangkap serdadu kompeni. Mayat Mariam ditemukan di sekitar jembatan Ancol.
Dipulangkan setelah melahirkan
Kemunculan Nyai dimulai ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar abad 16.
Terbatasnya perempuan Eropa yang ada saat itu membuat para pegawai VOC dan penduduk laki-laki Eropa terpaksa mencari pasangan dari perempuan-perempuan lokal (pribumi) yang tidak hanya mengurus rumah tangga tapi juga tidur dengannya. Mereka itulah yang kemudian dikenal sebagai Nyai.
Meskipun kehidupan para Nyai umumnya mapan dari segi materi, namun dalam status sosial kehadirannya sering dianggap sebagai perempuan murahan, karena tidak bisa mendapatkan status "istri" meski banyak diantara mereka telah memiliki anak dari hasil hubungan dengan majikannya.
Malahan yang sering terjadi adalah, setelah melahirkan, mereka diperintahkan pergi ("dikirim kembali ke kampung") guna memberi tempat pada perempuan Eropa (Reggie Baay; 2010).
Jadi pada masa Kolonial, Nyai berarti gundik, selir, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Pergundikan ini tentu saja tidak `direstui' oleh pemerintah Hindia Belanda, karena itu tidak banyak dokumen yang menceritakan masalah ini.
Meski begitu, pergundikan tetap bertahan kuat selama masa Kolonial. Dari sedikit cerita, ada satu kejadian menarik yang melibatkan seorang Nyai terjadi di Batavia pada tahun 1928.
Kejadian ini diceritakan dalam koran Sin Po, berikut ceritanya; "Peristiwa malang menimpa S, seorang penggawe Gemeente (pegawai Kotamadya), yang telah menikah dengan seorang perempuan Sunda dan bertempat tinggal di gang Penghulu Tanah Abang.
Kejadian mengejutkan terjadi pada beberapa hari berselang. Waktu itu sekonyong-konyong rumah S kedatangan seorang Belanda yang mengaku dirinya polisi.
Belanda ini mengatakan pada S bahwa perempuan Sunda yang menikah padanya adalah ia punya bekas Nyai dan sekarang ia mau ambil itu perempuan, kalau S tidak kasih ia nanti jadi celaka.
Sambil mengatakan itu, ia lantas mengancam S dengan revolver, hingga S jadi ketakutan dan tinggal diam saja. Akhirnya Belanda itu dengan leluasa membawa pergi ia punya istri.
Memang, seperti yang dikatakan Reggie Baay: menurut kebiasaan yang berlaku, sang gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya ("Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda," Komunitas Bambu; 2010).
Tampaknya, hal itulah yang terjadi pada sang Nyai. Namun ternyata, setelah sang Nyai pergi dan menikah lagi, si Blanda merasa kesepian sehingga ia mencarinya dan memutuskan untuk mengambil lagi "miliknya," meskipun telah dinikahi oleh orang lain.
Baca Juga: Kisah Kebaikan Kapiten Gan Djie di Batavia, Kini Bisa Dicoba di Glodok
Malangnya nasib S, yang tak dapat berbuat apa-apa karena tidak berani melawan si Blanda dengan revolvernya, selain itu.
S yang ketakutan tidak berani adukan perbuatan Blanda itu pada polisi. Ia hanya tuturkan cerita tersebut pada beberapa kenalan saja." (Sin Po, November 1928).
Baca Juga: Dari Gereja Katedral Hingga Pasar Senen, Inilah Jejak Wajah Batavia Tempo Doeloe