Banjir Jakarta, Sejarah Mencatat 'Penyakit Tahunan' Ini Sudah Terjadi Bahkan Sejak Zaman Tarumanegara hingga Sekarang

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Batavia
Batavia

Intisari-Online.com - Hujan deras yang mengguyur DKI Jakarta dan sekitarnya sejak Jumat (19/2/2021) malam hingga Sabtu (20/2/2021) pagi.

Akibatnya menyebabkan sejumlah wilayah tergenang banjir.

Banjir atau genangan air dan berawa-rawa ini merupakan penyakit menahun bagi Jakarta.

Sejauh ingatan orang, Jakarta selalu diganggu oleh masalah air.

Baca Juga: Termaktub dalam Babad Tanah Jawi, Benarkah Tentara Mataram Pernah Dikalahkan VOC 'Hanya' dengan Kotoran Manusia?

Dari masa yang paling dini, semasa kerajaan Tarumanagara, prasasti Tugu sudah menyebutkan adanya banjir dan penanggulannya dalam abad ke lima Masehi.

Entah mengapa, orang tetap suka wilayah yang sering banjir dan berawa-rawa ini.

Berabad-abad setelah Purnawarman, pendatang-pendatang asing mengunjungi bandar yang bernama Jakarta atau Jayakarta yang letaknya di muara Ciliwung.

Kota ini seakan-akan terletak di rawa, terpisah dari teluk oleh gosong-gosong lumpur, yang pada waktu surut hanya digenangi oleh air hampir satu kaki.

Baca Juga: Herman Willem Daendels, Si Tangan Besi yang Terkejut saat Pertama Kali Injakkan Kaki di Batavia, Sampai Beri Julukan 'Kuburan Orang Belanda'

Dalam musim hujan, kota ini tak jarang digenangi oleh air limpahan Ciliwung atau Sungai Besar.

Sedangkan, di musim kemarau, airnya sangat sedikit. Keadaan tata air di Jakarta dikatakan sangat buruk.

Itu kata pengamat Belanda yang waktu itu masih berdagang dan kapal-kapalnya sering menyinggahi bandar itu.

Namun, tempat yang tata airnya buruk itu agaknya mempunyai daya-tarik besar.

Baca Juga: Tepat di Tepi Batavia, Seorang Pria yang Siap Membongkar Seluruh Borok Freemason Diculik dan Tak Pernah Ditemukan Lagi, Organisasi 'Pengendali Dunia' Itu pun Runtuh Karenanya

Buktinya mereka minta dan diberikan izin oleh penguasa Jayakarta untuk mendirikan gudang dan pangkalan di muara Ciliwung.

Gudang yang merangkap kantor itu didirikan pada tahun 1612 di sebelah timur muara kemudian ditetapkan menjadi kantor pusat, tempat pertemuan kapal-kapal Belanda dan pusat perdagangan.

Pilihan itu jatuh pada kota Jakarta karena letaknya di tengah jalur pelayaran ke Timur (Maluku) dan Barat.

Dalam pertikaiannya dengan bupati Jayakarta, dan Inggris, akhirnya pada tahun 1619 Jakarta diserbu dan dibakar habis.

Baca Juga: Kisah Kebaikan Kapiten Gan Djie di Batavia, Kini Bisa Dicoba di Glodok

Belanda menggali parit

Di atas puing-puing Jakarta didirikan kota yang diberi nama menurut nama benteng tertua, yakni "Batavia".

Kota itu dibangun menurut pola perencanaan sebuah kota Belanda.

Terusan-terusan digali berhubungan dengan Sungai Besar (Ciliwung).

Baca Juga: Dari Gereja Katedral Hingga Pasar Senen, Inilah Jejak Wajah Batavia Tempo Doeloe

Terusan yang memotong-motong kota dimaksudkan untuk drainase dan lalulintas air, sedangkan yang dibuat melingkungi kota tujuannya ialah pertahanan.

Pendangkalan parit

Karena sungai membawa lumpur dari pegunungan, maka kemudian terusan-terusan itu mengalami pendangkalan.

Untuk mengatasi itu diadakan pengerukan-pengerukan.

Baca Juga: Di Balik Megahnya Masjid Istiqlal, Ternyata Ada Lorong Rahasia Bawah Tanah yang Konon Tempat Pelarian Belanda

Pengembangan kota mula-mula ke arah Selatan dan Timur, kemudian juga ke arah Barat, jadi ke tepi kiri Ciliwung memerlukan perluasan sistem terusan ini.

Di dalam kota Batavia terdapat 16 terusan yang masing-masing diberi nama seperti Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht dan sebagainya.

Pada pertengahan abad ke-17 sistem terusan itu diperluas sampai sungai-sungai di luar kota.

Perluasan ini sangat penting, sebab dengan demikian persawahan dan ladang tebu di luar kota dapat diairi di samping menjamin pengaliran air ke dalam kota, karena di musim kemarau air Ciliwung sering tidak memadai.

Baca Juga: Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Negeri Dongeng dan Rumah Bahagia bagi Penghuninya

Pada tahun 1647 digali terusan Amanus (sekarang masih mengalir sepanjang Bandengan Utara) di sebelah Barat dari Kali Angke dan terusan Ancol di sebelah Timur dari Kali Sunter ke arah kota.

Selanjutnya antara 1653 dan 1659 digali terusan Bageracht (Kali Jelakeng sepanjang Jl. Pekojan) yang menghubungkan Kali Angke dengan Kali Krukut, anak sungai Ciliwung.

Antara 1678 dan 1686 digali terusan Mookervaart (yang sampai sekarang masih terlihat di sebelah kiri jalan raya Jakarta ke Tangerang) dari Cisadane di Tangerang ke Kali Angke.

Sementara itu pada pertengahan abad ke-17 di sebelah Selatan Ciliwung di sebelah Selatan antara benteng Jacatra (di ujung Jl. Jakarta sekarang) dan benteng Noordwijk (di seberang Hotel Sriwijaya sekarang).

Dibelokkan alirannya yang sekarang merupakan terusan yang ada di sepanjang jalan Gunungsahari dan membelok ke Pasar Baru-Jalan Juanda dan dihubungkan dengan terusan Molenvliet (di bundaran Harmoni sekarang).

Baca Juga: Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Ternyata Jakarta Sudah Berlangganan Banjir Sejak Dulu Kala

(*)

Artikel Terkait