Intisari-Online.com -Kala berbicara tentang upaya memenuhi segala kebutuhan hidup para karyawannya, Gubernur Jenderal keempat dan keenamJan Pieterszoon Coen (JP Coen) mungkin memang bisa diacungi jempol.
Dia sangat ingin membuat semua pegawainya di Batavia dan sekitarnya, khususnya yang berasal dari Belanda, itu betah tinggal di negara jajahannya.
Benar-benar segala kebutuhan hidup, takhanya kebutuhan lahir tapi juga kebutuhan batin para karyawannya.
Maka, kala sang Meneer sangat meyakini bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita, dunia prostitusi pun akhirnya tercipta di tanah Batavia.
Hanya saja, praktik prostitusi untuk para pegawai asal Belanda yang tinggal di Batavia ini tak berjalan mulus.
Sebuah kondisi yang secara mengerikan pada akhirnya menjadi pintu gerbang neraka bagi para wanita pribumi.
Neraka yang kelak membuat mereka terkenal dengan sebutan 'nyai'.
Berikut ini kisah kelamnya seperti dilansir dari kompas.com.
Bicara prostitusi, tentu di luar konteks keyakinan apa pun, adalah sebuah pembicaraan tentang perjalanan hidup anak manusia berabad bahkan bermilenium lalu.
Dalam sebuah penelitian disebutkan, dunia prostitusi tak hanya bisa mengungkap hal yang menyangkut pihak yang terkait dengan masalah hubungan kelamin, tetapi juga pihak yang secara sembunyi ikut menikmati dan mengambil keuntungan dari keberadaan prostitusi.
Di Batavia, prostitusi sudah dimulai sejak JP Coen membakar Jayakarta dan mendirikan kota baru di atas reruntuhannya.
Penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai.
Ridwan Saidi, budayawan, mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Makao, di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos.
Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China untuk menghibur tentara Belanda.
Baca Juga: Kisah Kebaikan Kapiten Gan Djie di Batavia, Kini Bisa Dicoba di Glodok
Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC memaparkan, Gubernur Jenderal JP Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita.
JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan, "perawan-perawan Belanda yang sudah mateng kawin."
Perawan-perawan itu tak lain adalah untuk karyawan JP Coen di Timur, termasuk Batavia.
Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis.
Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.
Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.
Baca Juga: Dari Gereja Katedral Hingga Pasar Senen, Inilah Jejak Wajah Batavia Tempo Doeloe
Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai.
Sebab dengan cara ini, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.
Sistem pergundikan ini sudah ada sejak sebelum Belanda tiba, dan menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia.
Sistem pergundikan itu menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai.
Kembali ke Macao Po, seiring dengan perkembangan Batavia, prostitusi pun meluas ke Gang Mangga, kini sekitaran Jalan Pangeran Jayakarta.
Kompleks prostitusi Gang Mangga akhirnya kalah bersaing dengan rumah bordil Soehian yang dibikin orang China.
Baca Juga: Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Ternyata Jakarta Sudah Berlangganan Banjir Sejak Dulu Kala
Pemerintah Belanda menutup tempat itu namun kemudian prostitusi tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar).
Praktik prostitusi pun menjadi resmi, sementara para nyai harus rela menjadi gundik di rumah para meneer.
Baca Juga: Beginilah Gambaran Kehidupan di Pulau Jawa pada Awal Abad 20