Dalam pertempuran pertama dengan Kesultan Aceh, Belanda keok, Cornelis de Houtman terbunuh oleh pemimpin pasukan, Laksamana Keumalahayati atau Malahayati.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Jika ada pertanyaan siapakah orang yang membuka jalan Belanda masuk wilayah Indonesia, jawabannya adalah Cornelis de Houtman. Dialah yang memimpin pelayaran pertama Belanda ke Nusantara.
Setelah bisa kembali dengan selamat dalam pelayaran pertamanya, walaupun dengan kondisi yang begitu buruk, Cornelis de Houtman harus meregang nyawa di pelayaran keduanya. Dia tewas di ujung rencong seorang pejuang perempuan yang dikenal sebagai Laksamana Keumalahayati.
Cornelis de Houtman adalah pria Belanda kelahiran 2 April 1565. Sebagaimana disebut di awal, dia adalah seorang pedagang yang memimpin pelayaran Belanda pertama ke Nusantara yang dikenal sebagai Hindia Timur.
Pelayaran itu sejatinya menghasilkan sangat sedikit keuntungan. Meski begitu, satu informasi superpenting yang berhasil dia dapat: monopoli Portugis atas rempah-rempah di Hindia Timur sangat rentan. Dan itu adalah pintu utama Belanda menguasa perdagangan di Nusantara.
Semua berawal ketika pada 1592 Cornelis de Houtman dikirim oleh para pedagang di Amsterdam di Lisboa. Tugasnya adalah mencari sebanyak mungkin informasi terkait Kepulauan Rempah-rempah.
Singkat cerita, de Houtman mengatakan bahwa Banten adalah tempat paling tepat untuk mendapatkan rempah-rempah. Ketika itu komoditasnya adalah lada.
Pada 2 April 1596 de Houtman meninggalkan Amsterdam memimpin empat kapal: Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken.
Setempat sekitar setahun dalam pelayaran, pada 27 Juni 1596 rombongan de Houtman tiba di Banten. Awalnya mereka diterima dengan tangan terbuka, tapi karena beberapa tabiat kasar, masyarakat Banten mengusir mereka.
De Houtman kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai utara Jawa. Setelah bertemu dengan beberapa rintangan, termasuk di Madura, rombongan de Houtman sampai juga di Bali. Di sana, mereka berhasil mendapatkan beberapa pot merica untuk dibawa kembali ke negerinya. Dari 249 orang menginjakkan kaki di Hindia Timur, hanya 87 orang yang bisa kembali ke Belanda.
Sebagaimana disebut di awal, bisa dibilang, pelayaran pertama ini adalah "bencana". Meski begitu, ini adalah kemenangan simbolis bagi Belanda, ini adalah pertanda awal Belanda melakukan penjajahan di Hindia Timur yang kelak dikenal sebagai Indonesia.
Cornelis de Houtman berangkat lagi ke Hindia Timur. Pada 1599 mereka tiba di Aceh. Awalnya Sultan menerima mereka dengan tangan terbuka. Tapi de Houtman menghinanya -- ada sumber yang bilang bahwa Portugis yang memprovokasi -- sehingga hubungan itu memburuk. Sultan kemudian mengutus seorang laksanama perempuan dengan pasukan Inong Balee - nya bernama Laksamana Keumalahayati atau Laksamana Malahayati.
Keumalahayati berhasil menikam de Houtman dengan rencongnya pada 11 September 1599.
Tewasnya Cornelis de Houtman
Awalnya adalah pertempuran di Teluk Haru, antara Kesultanan Aceh dan pasukan Portugis. Pertempuran itu dimenangkan oleh Portugis di mana Laksanama Zainal Abidin guru.
Zainal Abidin adalah suami Malahayati. Setelah kematian sang suami, Malahayati membentuk pasukan yang terdiri atas janda-janda prajurit Aceh yang gugur di medan pertempuran. Sultan menyetujui usulan Malahayati itu.
Dengan begitu, Malahayati menjadi laksamana perempuan pertama di Aceh.
Tugas pertama mereka adalahmenyerang dua kapal Belanda yang berlabuh di Aceh, yang ketika itu berada di sekitar Selat Malaka. Maka terjadilah pertempuran di tengah laut, dan pasukan Inong Balee dan Malahayati berhasil mencapai kapal Houtman bersaudara.
Dengan begitu, Malahayati langsung berhadapan dengan Cornelis de Houtman dan berhasil menikamnya dengan rencongnya. Adik Cornelis de Houtman, Frederick de Houtman menjadi tawanan perang Aceh selama dua tahun. Pasukan Inong Balee juga berhasil menguasai armada Belanda.
Laksamana Keumalahayati atau Laksamana Malahayati adalah pahlawan Aceh, juga pahlawan Indonesia. Buktinya, Presiden Joko Widodo menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 2017 lewat Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017. Berikut ini biografi Laksamana Malahayati.
Mengutip Kompas.com, Keumalahayati lahir pada 1 Januari 1550, di Aceh Besar, dari keluarga Kesultanan Aceh. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah, Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh, dan kakeknya ialah Laksamana Said Syah.
Kakek buyut Malahayati adalah Sultan Salahuddin Syah, sultan kedua Kerajaan Aceh yang memerintah antara tahun 1530 hingga 1539. Lahir dari keluarga kerajaan yang memegang jabatan sultan dan panglima angkatan laut kesultanan, Malahayati mengikuti jejak para pendahulunya.
Usai lulus dari pendidikan agama di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, dia melanjutkan ke Akademi Militer Mahad Baitul Makdis milik Kerajaan Aceh, yang dilatih langsung oleh sejumlah guru dari Turki. Pendidikan militer tahun pertama dan kedua dijalani Keumalahayati dengan baik, bahkan ia tergolong unggul dan berprestasi.
Malahayati kemudian memilih fokus di Angkatan Laut, mengikuti jejak ayah dan kakeknya. Di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis juga, Malahayati bertemu dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang kelak menjadi suaminya.
Pada 1585, ketika usianya 35 tahun, Malahayati dipercaya menjabat Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah di bawah pemerintahan Sultan Buyung atau Sultan Ali Ri'ayat Syah II. Malahayati pertama kali melawan kolonialisme Portugis dalam pertempuran di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586.
Pertempuran ini dipimpin oleh suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga menjabat kepala pengawal sultan.
Ketika itu puluhan kapal kayu Kesultanan Aceh berusaha mencegat kapal-kapal perang Portugis. Meskipun armada perang Kesultanan Aceh berhasil memukul mundur Portugis, suami Malahayati gugur dalam pertempuran. Kematian suaminya membakar semangat Malahayati, yang berjanji untuk menuntut balas dan meneruskan perjuangan suaminya.
Dia lalu ditunjuk oleh Sultan Aceh menggantikan posisi mendiang suaminya sebagai laksamana. Keumalahayati menjabat sebagai laksamana dan memiliki tugas memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh. Sejarah perjuangan Laksamana Malahayati dimulai ketika ia membentuk dan memimpin Inong Balee.
Inong Balee adalah kesatuan yang prajuritnya terdiri atas para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran Teluk Haru. Permintaan Malahayati dikabulkan, dan terbentuklah pasukan Inong Balee dengan Keumalahayati sebagai panglimanya.
Nama Inong Balee berasal dari kata inong, yang berarti perempuan, dan balee, yang artinya janda. Inong Balee, yang terdiri dari 2.000 perempuan janda, dibekali 100 kapal perang besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan.
Dengan ilmu-ilmu yang dia punya, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur pilih tanding dan disegani. Di bawah kepemimpinan Laksamana Malahayati, pasukan Inong Balee terlibat dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda, bertempur di perairan Selat Malaka, pantai timur Sumatera, dan Malaya. Mereka juga membangun Benteng Inong Balee di perbukitan dekat Teluk Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar.
Benteng dengan tembok setinggi 100 meter ini dibangun seluruhnya oleh perempuan Inong Balee, dan menjadi markas serta pusat pelatihan mereka. Pasukan Malahayati juga menjalankan misi khusus untuk mengamankan jalur laut perdagangan kesultanan serta mengawasi pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Malahayati juga adalah seorang diplomat ulung, negosiator yang piling tanding. Saat pemerintah Belanda meminta pembebasan tawanan mereka, termasuk Frederik de Houtman, Sultan mengutus Malahayati untuk berunding. Malahayati mengajukan syarat bahwa Belanda harus membayar ganti rugi atas peperangan yang mereka sebabkan, sebagai ganti pembebasan prajurit-prajurit mereka yang ditahan.
Peran diplomatik Laksamana Keumalahayati terus berlanjut ketika Inggris menginginkan hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Malahayati dipercaya untuk menerima utusan khusus Ratu Elizabeth I, yakni James Lancaster. Lancaster tiba di Aceh pada 5 Juni 1602, menggunakan kapalnya, Red Dragon, dengan tujuan untuk membeli rempah-rempah Aceh.
Perjuangan Laksamana Malahayati menggempur pertahanan Portugis di Malaka, berlanjut pada 1606. Sayangnya, Laksamana Malahayati meninggal karena memimpin pertempuran antara pasukan Inong Balee melawan pasukan Portugis di Teuluk Krueng Raya, di perairan Selat Malaka, pada 1615.
Jasadnya kemudian dimakamkan di sebuah bukit kecil di Desa Lamreh, Kecamatan Majid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Presiden Joko Widodo menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 2017 melalui Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017. Namanya juga diabadikan pada salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut dan menjadi nama sebuah pelabuhan di Desa Lamreh, Krueng Raya, Aceh.