Penulis
Intisari-Online.com - Pada 28 November 1975, Timor Leste (Timtim) memproklamasikan kemerdekaannya dari Portugis.
Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar sebelum ia jatuh dalam pelukan Indonesia.
Awalnya kediktatoran pemerintah Portugis runtuh setelah menerima prasyarat Resolusi PBB 1960 tentang Dekonolisasi, dan Timor secara resmi diakui sebagai wilayah non-otonom di bawah kekuasaan Portugis.
Partai-partai politik di Timor Portugis dibiarkan bermunculan.
Uniao Democratica Timorense (UDT) menjadi partai politik pertama setelah Associacao of the Integracao de Timor na Indonesia, yang menyuarakan integrasi dengan pemerintah Indonesia.
Ini diikuti oleh partai Frente Revolucionária do Timor-Leste Independente (Fretilin) pada bulan September 1974.
Partai-partai ini mulai mempromosikan diri untuk memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur.
Konflik antara kedua kubu (UDT dan Fretilin) terus meningkat baik secara verbal maupun fisik.
Partai UDT yang didominasi oleh pemilik tanah memiliki pandangan konservatif dan menolak pandangan Fretilin dengan reforma agraria.
Konflik antara kedua partai politik tersebut terekam dalam tulisan Clinton Fernandes di situs University of New South Wales Canberra.
Kolonialisme Timor Leste telah dimanipulasi oleh Indonesia dengan melancarkan operasi rahasia, tulisnya.
Fernandes menuturkan, upaya Indonesia melancarkan operasi rahasia bertujuan untuk mencaplok Timor Leste.
Di sisi lain, UDT dan Fretilin telah bersatu untuk menangkis musuh bersama, yaitu Portugis pada Januari 1975.
Namun, koalisi hanya berlangsung empat bulan, tak lama setelah UDT menarik koalisi sepihak yang dilanjutkan dengan pertemuan personelnya di Jakarta.
Salah satunya adalah pertemuan tokoh UDT dengan Kepala Intelijen Jenderal Ali Murtopo di Jakarta.
Segera setelah mereka kembali, UDT melancarkan kudeta terhadap Fretilin.
Dalam apa yang disebut 'gerakan bersenjata' pada 11 Agustus, UDT merebut beberapa kantor kunci Fretilin dan menahan ratusan pemimpin dan pendukung Fretilin.
Dalam kondisi destabilisasi, propaganda dan tekanan militer dari Indonesia, Fretilin akhirnya memproklamasikan kemerdekaan pada 28 November 1975.
Beberapa hari setelah itu, UDT dan tiga partai kecil lainnya mengumumkan 'Deklarasi Balibo' - seruan kepada pemerintah Indonesia untuk mencaplok Timor.
Meski dinamakan Deklarasi Balibo, saksi yang menandatanganinya memberi kesaksian bahwa draf deklarasi tersebut dibuat di Jakarta dan ditandatangani di sebuah hotel di Bali dengan kondisi paksaan seperti yang tercatat dalam laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Timor- Leste (CAVR) pada tahun 2005.
Sembilan hari kemudian, Indonesia menginvasi Timor Timur pada 7 Desember 1975.
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto menduduki Timor Timur bukan tanpa alasan.
Padahal, Soeharto awalnya tidak ingin Timor Timur masuk ke wilayah Indonesia.
Namun, setelah mendapat masukan dari kalangan intelijen Indonesia, salah satunya Majen Ali Murtopo, Soeharto mungkin akan berpikir ulang.
Salah satu pertimbangannya adalah memandang Fretilin sebagai berideologi komunis yang konon menimbulkan keprihatinan terhadap Indonesia yang seperti kita ketahui bahwa Soeharto anti komunis.
Dikhawatirkan kekuatan Fretilin akan tumbuh dan akan melahirkan negara komunis di perbatasan Indonesia.
Hingga akhirnya, pasukan militer Indonesia mampu menyelesaikan masalah tersebut pada 7 Desember 1975.
Namun, operasi militer ini justru memperparah konflik yang sedang berlangsung.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meredakan konflik tersebut, salah satunya dengan membawa masalah Timor Timur ke PBB usai bernegosiasi dengan Portugal.
Pada tanggal 5 Mei 1999, akhirnya dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk mengadakan referendum di Timor Timur.
Perjanjian tersebut kemudian dikenal sebagai Perjanjian New York.
Selain itu, PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan antara Indonesia dan Portugal dalam proses menuju referendum Timor Timur.
Referendum dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dan dilakukan dengan dua pilihan, yaitu menerima otonomi khusus bagi Timor Timur di dalam wilayah Republik Indonesia atau menolaknya.
Hasilnya, 344.580 orang atau 78,5 persen dari total penduduk Timor Timur memilih menolak otonomi khusus Republik Indonesia.
Kemudian pada bulan Oktober 1999 Timor Leste resmi memisahkan diri dari Republik Indonesia.
(*)