Intisari-Online.com - Sejarah Timor Leste sebelum kemerdekaannya penuh pertempuran, mulai jadi medan perang dunia hingga pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia.
Selama ratusan tahun sejak tahun 1600-an, Timor Leste menjadi tanah jajahan Portugis yang tergiur dengan kekayaan kayu cendananya.
Sementara pada tahun 1945, wilayah berjuluk Bumi Lorosae ini menjadi medan perang antara sekutu dan pasukan Jepang.
Tak berhenti di situ, setelah melewati masa pendudukan Jepang hingga ditinggalkan oleh Portugis, Timor Leste kembali terlibat dalam pertempuran.
Invasi pasukan Indonesia tahun 1975 membuat wilayah tersebut berintegrasi dengan Republik Indonesia hingga 24 tahun kemudian.
Perlawanan kelompok pro-kemerdekaan akhirnya memenangkan pertempuran dua dekade itu dengan dihadiahi referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999.
Dalam perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia selama lebih dari dua dekade itu, bukan hanya pejuang laki-laki yang turun tangan, karena banyak dari gerilyawan wanita juga terlibat.
Namun, keberhasilan perjuangan mereka merebut kemerdekaan rupanya tak membuat mereka benar-benar merdeka dari kekerasan.
Melansir The Guardian (29/12/2017), Madalena Vidal Soares, sosok wanita yang bergabung dengan gerakan perlawanan bersenjata tidak lama setelah Indonesia menginvasi negaranya pada tahun 1975, membeberkan apa yang dihadapi wanita Timor Leste setelah kemerdekaan tanah airnya.
Terbentuknya negara baru yang merdeka tidak secara otomatis mengarah pada pembebasan perempuan.
"Lima belas tahun kemudian, masih banyak perjuangan yang harus dilakukan," katanya
“Beberapa hal jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi beberapa masalah serius tetap ada. Kekerasan tidak meninggalkan rumah kami, misalnya, ”kata Soares.
Wanita menghadapi tantangan serius. Terungkap antara 40% dan 60% perempuan Timor Leste pernah mengalami beberapa jenis kekerasan.
Hanya 21% perempuan dalam angkatan kerja, dibandingkan dengan 40% laki-laki, dan mereka hanya memimpin 5% dari dewan desa di negara tersebut, dikutip The Guardian.
Sementara perempuan dijamin hak milik penuh oleh hukum, tapi dalam praktiknya masyarakat mendikte bahwa tanah dikuasai oleh laki-laki. Dan perempuan bisa kehilangan hak de facto jika suaminya meninggal atau pernikahannya berakhir.
Tunjangan pemerintah yang diberikan atas pengorbanan yang dilakukan selama perjuangan kemerdekaan sebagian besar diberikan kepada laki-laki, padahal kontribusi perempuan sangat mendasar.
Mantan pejuang perlawanan dan generasi baru wanita Timor Leste masih harus menghadapi tantangan tersebut setelah kemerdekaan.
Wanita yang menggunakan dana pensiun pemerintah yang diterimanya selama bertahun-tahun di hutan untuk membuat jaringan sekolah di dekat rumahnya di luar ibu kota Timor Leste ini menyadari pentingnya pendidikan untuk generasi muda.
“Saya tahu pendidikan penting untuk memberikan kesempatan terbaik bagi generasi berikutnya,” katanya, meskipun dia sendiri tidak menerima pendidikan formal.
Beberapa sekolah telah dimasukkan ke dalam sistem pendidikan umum negara itu.
Dilaporkan The Guardian, Timor Leste penuh dengan cerita tentang para wanita yang menipu tentara Indonesia, mencuri senjata atau persediaan mereka dan memberikannya kepada para pejuang kemerdekaan.
Di sisi lain, Timor-Leste juga penuh dengan cerita, yang sering kali dirahasiakan, tentang kekerasan yang meluas dan pelecehan seksual yang dialami perempuan di tangan militer Indonesia atau milisi paramiliter.
Sejauh ini, pemerintah telah melaksanakan program yang kuat yaitu mendistribusikan pembayaran pensiun kepada para veteran perjuangan bersenjata, tetapi klandestino, di Timor Leste umumnya wanita, tidak mendapatkan pembayaran seperti itu.
Klandestino merupakan jaringan informan yang menyamar dan bertanggung jawab menyelundupkan persediaan, obat-obatan, persenjataan, dan informasi ke garis depan.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini