Intisari-Online.com - Ketika kembali muncul aksi gerakan separatis di Indonesia, tak jarang hal itu dikaitkan sengan Sejarah Timor Leste yang melepaskan diri dari Indonesia 22 tahun yang lalu.
Menegaskan perbedaan antara Timor Leste dengan daerah lainnya di Indonesia, khususnya Papua yang gencar ingin memerdekakan diri, pada Desember 2020 lalu Menko Polhukam, Mahfud MD, sempat menjelaskannya.
Mahfud menuturkan, berbeda dengan Papua yang selama ini tidak pernah terdaftar dalam Komite Dekolonisasi PBB atau Komite 24 PBB, Timor Leste ada di daftar tersebut.
Komite 24 PBB ini merupakan daftar negara-negara yang berpeluang merdeka.
"Kalau Timor-Timur memang ada, tetapi Papua tidak ada. Sejak '69 tidak masuk di Komite 24 itu," ungkap Mahfud, dikutip Kompas.com (4/12/2020).
Selain itu, Mahfud juga mengatakan bahwa keterikatan Papua dengan Indonesia selama ini sah dan sudah final.
Hal itu terjadi sejak diselenggarakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969, yang disusul keputusan Majelis Umum PBB dengan mengesahkan Papua menjadi bagian kedaulatan Indonesia.
Timor Leste sendiri resmi diakui kemerdekaannya oleh Indonesia pada pada 19 Oktober 1999, setelah jejak pendapat atau referendum menunjukkan mayoritas penduduknya menolak berintegrasi dengan Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, diselenggarakan referendum yang memberikan kesempatan untuk Timor Leste yang saat itu bernama Timor Timur, untuk mendapatkan kemerdekaannya.
Itu merupakan salah satu kebijakan yang lahir di era pemerintahan presiden ke-3 Indonesia tersebut.
Meski sempat menuai pro dan kontra, Presiden BJ Habibie pada akhirnya tetap melaksanakan referendum Timor Timur dilaksanakan pada 30 Agustus 1999.
Meski hanya menjabat sebagai Presiden selama 517 hari, namun diketahui sederet kebijakan 'dilahirkan' oleh pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Selain referendum Timor Timur, berikut ini kebijakan era BJ Habibie lainnya, melansir Kompas.com:
Kebebasan Pers
Pada masa pemerintahan sebelumnya, pers dibungkam dan dipaksa mengikuti opini dari pemerintahan sehingga apabila ada pers yang menentang kebijakan pemerintah maka akan mendapatkan hukuman.
Dilansir dari Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada masa pemerintahan Habibie menjadikan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan RI.
Sehingga undang-undang tersebut menjadi ujung tonggak dari kebebasan pers yang ada di Indonesia yang sering dibredel pada masa pemerintahan sebelumnya.
Pemilu bebas dan demokrasi
Habibie juga membentuk undang-undang yang mengatur kebebasan masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang pemilu.
Hasil dari dibentuknya undang-undang tersebut adalah lahirnya 48 partai politik baru yang ikut berpartisipasi secara aktif dalam pemilu Indonesia di tahun 1999.
Pada tahun 1999, pemilu legislatif yang dilaksanakan menjadi pemilu yang paling bebas dan demokratis yang terjadi setelah pemilu pada tahun 1955.
Otonomi Daerah
Wilayah Indonesia yang sangat luas dan memiliki karakter dan budaya yang beragam menjadikan otonomi daerah merupakan hal yang diperlukan untuk diterapkan di Indonesia.
Sehingga pada masa pemerintahan Habibie dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Hasil dari lahirnya undang-undang ini adalah meredanya gejolak disintergrasi yang sebelumnya sempat pecah di Indonesia.
Baca Juga: Kucing Tiga Warna; 8 Makanan Manusia Aman Dikonsumsi Kucing Calico
Berakhirnya diskriminasi terhadap etnis tionghoa
Inpres Nomor 26 Tahun 1999 dan Inpres Nomor 4 tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Habibie merupakan titik awal untuk mengakhiri perilaku diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Dalam inpres menghapuskan larangan untuk berbicara dan mengajar Bahasa Mandarin.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini diwariskan dari masa pemerintahan Soeharto yang sebelumnya memberlakukan program anti-komunis yang berimbas pada diskriminasi terhadap etnis tertentu.
Lahirnya komnas perempuan
Pada peristiwa Mei 1998, banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan terutama dari etnis Tionghoa, hal ini memicu lahirnya tuntutan dari masyarakat agar masalah ini tidak terulang kembali.
Untuk memenuhi tuntutan ini, Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 yang akhirnya melahirkan komisi nasional perempuan di Indonesia.
Wewenang Bank Indonesia
Pada tahun 1998, Habibie melaksanakan restrukturisasi perbankan di Indonesia dan memutuskan bahwa Bank Indonesia (BI) harus terpisah dari pemerintahan agar tetap bersifat obyektif dan tidak terpengaruh oleh politik.
Pemisahan Bank Indonesia dari pemerintahan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
Dilansir dari Indonesia Baik, Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia diharapkan dapat membantu mengatasi krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 dengan cara meningkatnya suku bunga sebesar 70 persen dan diterbitkannya obligasi senilai Rp 650 triliun untuk menalangi perbankan.
Terkait jabatannya sebagai Presiden RI ke-3, BJ Habibie sendiri pernah mengungkapkan bahwa ia menjadi presiden karena ketidaksengajaan.
Ia mengaku tidak pernah tertarik atau ingin menjadi presiden, namun karena situasi saat itu mengharuskannya mengambil alih kepemimpinan.
"Saya harus mengambil alih karena Presiden Soeharto mengundurkan diri," ujar Habibie saat itu ketika pembicara di Konferensi CEO Global Forbes, Nusa Dua, Bali, Kamis (5/9/2013), dikutip Kompas.com.
Selama 517 hari menjabat sebagai Presiden RI, Habibie hanya fokus mengatasi permasalahan bangsa dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.
"Dengan latar belakang pendidikan di Eropa, tiba-tiba harus memimpin pemerintahan yang begitu banyak permasalahan. Saat itu, saya hanya berpikir mengatasi masalah dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat," ungkapnya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini