Intisari-Online.com - Timor Leste pernah menjadi bagian wilayah Indonesia antara tahun 1975 hingga 1999, kurang lebih 24 tahun lamanya.
Integrasi Timor Leste dengan Indonesia diperoleh melalui invasi Indonesia yang dimulai pada 7 Desember 1975, setelah Portugis meninggalkan Bumi Lorosae.
Sebelum invasi tersebut, pemerintah sementara Timor Lorosa'e yang dipimpin Fretilin, sebenarnya secara sepihak telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 28 November 1975.
Namun, pasukan Indonesia berhasil memukul mundur kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste.
Jadilah bekas wilayah jajahan Portugis ini berada di bawah pemerintahan Indonesia sebagai provinsi baru.
Dari tahun 1975 hingga 1980, kelompok pemberotak yang menginginkan kemerdekaan tak bisa berkutik karena pasukan Indonesia memperkuat pijakan mereka di setiap wilayah.
Kemudian sejak 1980-an, mereka mulai bergerak kembali secara diam-diam. Tahun 1980-an-1990-an pun menandai dimulainya kebangkitan generasi perlawanan Timor Leste.
Hal yang mengejutkan, gerakan perlawanan lahir pula dari para pemuda yang telah diberikan 'dimanjakan' oleh pemintah Indonesia saat itu. Bagaimana bisa?
Melansir New Mandala, dalam artikel yang ditulis Ivo Mateus Goncalves (17/12/2019), Pada 1980-an, pemerintah daerah Indonesia memberikan beasiswa dalam jumlah besar kepada pemuda Timor Leste untuk melanjutkan studi di berbagai universitas di Indonesia seperti di Bali, Jakarta dan Jawa.
Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk mengintegrasikan pemuda Timor-Leste secara politik atau budaya ke dalam negara kesatuan Indonesia melalui program kesempatan pendidikan yang sangat besar.
Disebut, kebijakan pemerintah Indonesia adalah salinan dari Kebijakan Etis yang dipraktikkan oleh penjajah Belanda pada tahun 1901.
Saat itu, hubungan antara front bersenjata dan penduduk Timor Leste pun telah semakin meningkat karena mereka bertemu hampir setiap hari untuk mencari dukungan logistik.
Terjadinya kekurangan pangan membuat militer Indonesia membiarkan penduduk memenuhi kebutuhan pokokya.
Sementara itu, berbeda dengan perkiraan pemerintah Indonesia bahwa pemberian beasiswa akan mengintegrasikan pemuda Timor Leste dengan negara kesatuan Indonesia, justru kebijakan ini menjadi bak bumerang.
Pada tanggal 20 Juni 1988, organisasi gerakan mahasiswa pertama Perlawanan Nasional Mahasiswa Timor Timur (RENETIL-Resistencia Nacional dos Estudantes de Timor-Leste) didirikan di Denpasar, Bali.
Sebagian besar pendirinya berusia dua puluhan dan yang tertua adalah mendiang Lucas da Costa, yang lahir pada awal 1950-an.
Beberapa tahun setelah invasi, pada 1980-an, sebagian besar pasukan gerilya Timor Leste telah disapu bersih oleh militer Indonesia dan hanya segelintir dari mereka yang selamat dari serangan militer Indonesia.
Selain itu, penduduk berada di bawah kendali militer Indonesia dan situasinya tampaknya sangat menentukan masa depan Timor Lorosa'e.
"Oleh karena itu, setelah menyerah kepada militer Indonesia, saya berpikir bagaimana cara memindahkan perang Timor Timur ke daratan Indonesia untuk memicu dukungan dari rakyat Indonesia sendiri,"
“Saya datang ke Dili pada awal 1980-an dan bersama beberapa teman, kami menjalin ikatan yang kuat yang membuka jalan bagi pembentukan organisasi klandestin mahasiswa pertama di daerah perkotaan,” kenang Avelino Coelho, mantan pemimpin mahasiswa, tentang pertemuan pertamanya dengan kelompok yang berpikiran sama di Dili.
Kemunculan gerakan mahasiswa Timor Timur pasca invasi Indonesia itu membuat harapan tetap hidup bagi perlawanan.
Ketika Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Timor Timur tahun 1989, protes massal pertama terjadi yang dihalangi oleh militer Indonesia. Protes mahasiswa dan pemuda lainnya pun terjadi.
Tragedi Santa Cruz pada 12 November 1991, merupakan peristiwa yang menjadi titik balik perjuangan Timor Leste, memicu kecaman pedas dari dunia internasional dan mengembalikan perhatian dunia terhadap isu Timor Timur.
Sejak saat itu, rantai demonstrasi dan protes massa semakin membesar, tidak dapat dihentikan oleh pemerintah Indonesia.
Fenomena baru muncul ke permukaan seiring dengan banyaknya mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi.
Peran generasi muda tersebut sangat menentukan bagi Timor Leste karena suara mereka juga mempengaruhi jajak pendapat atau referendum pada 1999 yang kemudian berujung pada akhir pendudukan Indonesia selama 24 tahun.
Mungkin, nama-nama besar dari gerakan gerilya dan komandannya lebih banyak mendapat perhatian.
Namun, kemerdekaan Timor Leste tak lepas dari konstribusi para pelajar dan pemuda yang ikut terjun dalam gerakan perlawanan.
Sementara ironisnya bagi Indonesia, mereka para pemuda yang berperan penting atas lepasnya Timor Leste dari Indonesia, termasuk di dalamnya adalah para mahasiswa yang telah diberikan beasiswa oleh pemerintah Indonesia kala itu.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari