Find Us On Social Media :

Mempelajari Novel Mata-mata Era Perang Dingin Ini Seharusnya Dilakukan China dan AS dan Kita Semua untuk Menyambut Tahun Baru, Upaya Mencegah Perang?

By Maymunah Nasution, Selasa, 29 Desember 2020 | 18:21 WIB

Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Intisari-online.com - Tinker, Tailor, Soldier, Spy.

Bagi penggemar film Hollywood, pastinya judul film tahun 2011 itu tidak asing lagi.

Disutradarai oleh Tomas Alfredson, film itu segera meraup keuntungan dengan menghadirkan ketegangan hidup seorang mata-mata di era Perang Dingin.

Film itu dibuat dari novel berjudul sama karangan John le Carre, penulis novel Inggris berusia 89 tahun.

Baca Juga: Hanya Dengan Kenakan Korset, Merpati Ini Malah Berjasa Selamatkan Ribuan Nyawa di Perang Dunia II, Ceritanya Pasti Tidak Pernah Anda Duga Sebelumnya

Siapa sangka, cerita mengesankan itu dibuat dari perjalanan hidupnya, sehingga Tinker, Tailor, Soldier, Spy memang merupakan permainan spionase, dengan mata-mata sinis kapitalis memulai perjalanannya.

Bahkan, plot dalam cerita itu begitu mirip dengan kondisi saat ini sehingga banyak yang menganggap seharusnya untuk berjaga-jaga, novel ini dipelajari Amerika Serikat dan China.

Hal ini karena Tinker, Tailor, Soldier, Spy bercerita tentang mata-mata di era Perang Dingin.

Opini oleh Tom Plate yang terbit di South China Morning Post mengatakan bahwa satu-satunya yang diperlukan untuk menciptakan Perang Dingin baru hanyalah sejumlah manusia di kedua sisi menelah mitos superioritas eksklusif.

Baca Juga: Padahal Seperti Biasa Jadi Militer Paling Kuat di Dunia, Kini Kekuatan Militer Rusia Disebut Berada di Titik Tertinggi Sejak Perang Dingin, Apa yang Dimilikinya sampai Para Ahli Khawatir dan Beri Peringatan?

Artinya, jika China dan Amerika Serikat tidak terlalu berambisi untuk menjadi negara paling superior di dunia, semua akan baik-baik saja.

Namun, keduanya malah sama-sama berupaya saling menjatuhkan, membuat dunia tidak bisa bergerak maju.

Contoh dampak paling mengerikan dari ini adalah respon resmi kedua negara atas Covid-19.

Otoritas China harusnya mengatakan jika mereka telah membuang terlalu banyak waktu untuk menghadapi wabah itu sampai terlepas ke negara lain.

Baca Juga: Dibanggakan AS Sebagai Tempat Persembunyian dari 'Kiamat', China Malah Sebut Tempat Itu Tidak Aman Bahkan Mudah Dihancurkan China dengan Senjata Nuklirnya

Sementara itu otoritas AS justru berpaling, alih-alih menghadapi kenyataan, saat akhirnya tahu apa yang mereka hadapi.

Pemerintahan di seluruh dunia berpacu dengan ketidakmampuan yang terus mengejar mereka.

Bahkan, Korea Selatan yang sempat menangani Covid-19 secara efektif, tidak sempat sombong sebentar karena pada akhirnya cacatnya sistem kesehatan mereka muncul dan mereka jatuh dalam parade infeksi dan kematian Covid-19.

Sekarang semua orang harus memberi orang lain jarak dan ruang yang cukup lebar, ibarat kata jika Anda ingin berolahraga maka Anda harus melakukannya sendiri atau setidaknya bersama rekan isolasi Anda saja.

Baca Juga: Negaranya Lebih Miskin Dari Indonesia, Timor Leste Malah Diklaim Berhasil Menangani Covid-19 Lebih Baik Daripada Indonesia, Apa Rahasianya?

Satu paradoks yang ada adalah semakin banyak kebiasaan yang berubah memberi kita semua waktu untuk berpikir, tapi keinginan untuk berpikir dan menelaah kejadian semakin berkurang.

Sosok pusat di novel karangan le Carre, Smiley, mempertanyakan dua negara adidaya yang bertarung di pra-1989 apakah sebenarnya dua negara yang serupa.

Seiring berjalannya waktu, pemikiran yang berupa keraguan malah bisa menciptakan ketidakpercayaan ideologi dari kedua belah pihak.

Menjadi yang paling kuat di antara yang terkuat mungkin sudah tidak relevan di saat ini, seharusnya China dan AS berpikir demikian.

Baca Juga: Bermodalkan Berita Hoax yang Disiarkan Secara Resmi oleh Pemerintah, Amerika Serikat Ternyata Pernah Dibuat Ketakutan Setengah Mati Oleh Uni Soviet, Begini Kisahnya

Namun akan ironis jika Covid-19 justru menenangkan dua kepala adidaya, tentunya olok-olok "virus China" tidak akan masuk akal.

Kita tidak dapat hanya mengharapkan jika kedua negara mulai berniat saling memaafkan.

Semua kembali ke kita semua, yang pastinya lebih sadar jika pemerintah kita membuat kesalahan.

Hanya melalui pengamatan objektif yang setara baru pusat kemanusiaan bisa tercapai, dan menghindarkan umat manusia dari perang dingin lain.

Baca Juga: Menguak Pelajaran Perang Dingin dan Simulasi Perang Dunia III Dimulai: Apa yang Bisa Dilihat Bisa Dihancurkan

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini