Advertorial
Intisari-online.com -Bangkitnya negara China menjadi salah satu negara penopang ekonomi dunia tidak dipungkiri membuat resah negara yang selama ini menguasai dunia, Amerika Serikat.
Sebuah opini yang ditulis oleh Brian Wong di Nikkei Asia menyebutkan dampak yang dihadapi China ke depannya.
Ketegangan meningkat drastis saat dua raksasa ekonomi terus bersaing, sampai-sampai fenomena jebakan Thucydides jadi normal.
Perangkap Thucydides merupakan ungkapan yang diciptakan oleh ilmuwan politik AS Graham Allison, yang menyinggung catatan terkenal Thucydides mengenai perjuangan hidup-atau-mati antara Sparta dan Athena.
Allison mengemukakan bahwa ketika satu kekuatan besar mengancam untuk menggusur yang lain, perang menjadi tidak terelakkan.
Diskusi terbaru terpusat pada bagaimana AS seharusnya mendekati kebangkitan China, tapi hanya sedikit yang membahas bagaimana China seharusnya menangani kebangkitannya sendiri yang bisa mengubah politik secara radikal atau disetir oleh sentimen ultranasionalis.
Apa yang China benar-benar butuhkan adalah reformasi progresif yang akan membantu mereka beradaptasi dengan aturan global dalam skala besar, tanpa mengecilkan fundamental politik dan hak mereka untuk tidak dicampuri oleh negara luar.
Beberapa tahun terakhir telah dilihat sebagai keberhasilan diplomasi 'pejuang serigala' dari China, demikian pula dengan meningkatnya kegarangan dari birokrat dan administrasi yang mengkhawatirkan isu kedaulatan.
Permusuhan ini sangat disayangkan, meskipun cukup dapat dimengerti.
Berakar di naratif China mengenai "Satu Abad dipermalukan" di tangan Barat, dan diperkeras oleh runtuhnya Uni Soviet dan retorika Sino-fobia yang telah merebak sejak Covid-19, pemimpin Partai Komunis menganggap semua kritik dari dalam dan luar rezim sebagai bentuk neo-kolonialisme dan upaya imperialis untuk mengecilkan pemerintahannya.
Menurut pada permintaan luar negeri dilihat sebagai anggota partai sebagai tanda kapitulasi dan kelemahan yang akan mengerdilkan legitimasi politik lokal, dan kemampuan untuk memegang kebijakan internasional mereka.
Namun konfrontasi langsung dengan raksasa militer dunia, dan juga mitra ekonomi China paling penting mungkin menjadi hal terburuk tidak hanya untuk Partai Komunis China, tapi bagi negara itu sendiri.
Dalam opini terbaru yang dibuat oleh mantan Menteri Luar Negeri Fu Ying yang dipublikasikan oleh New York Times bulan lalu menjelaskan jika birokrat di Beijing sangat sadar kebutuhan untuk "persaingan kooperatif".
Serta, persaingan dua negara memerlukan manajemen rapi dan kerjasama taktis mengenai isu-isu kritis.
Perang, dengan kata lain, bukanlah jawaban untuk China.
Ada satu cara keluar untuk China, yang bisa membuat mereka berevolusi menjadi raksasa ekonomi dunia selanjutnya tanpa harus menghancurkan politik mereka sendiri.
Utamanya, China harus mengurangi pemikiran defensif dan mulai bergerak secara progresif.
Melalui mengkotak-kotakkan semuanya menjadi potensi kekhawatiran, mulai dari komentar anti-China di Australia sampai skeptisisme tanpa dasar terhadap perusahaan teknologi China di Eropa dan hubungan perbatasan China dengan negara tetangganya, tiga tahun terakhir ini telah tunjukkan China menjadi sosok yang lebih mirip musuh daripada teman di panggung internasional.
Dengan mengadopsi dasar yang ketat, Beijing mendapati dua risiko penting.
Pertama karena bekerja terlalu keras berisiko menjauhkan sekutu dan mitra regional yang dibutuhkan China untuk menjadi suplemen pertumbuhan ekonomi mereka, sembari membatasi kehadiran AS di wilayah itu.
Kedua adalah percepatan ramalan: para 'sinoskeptis', gerombolan yang senantiasa meragukan China telah selalu menggambarkan China penuh doktrin, dan membuat karikatur mulai dari cuitan Twitter pejabat China sampai-sampai klaim rumor mengenai asal usul Covid-19.
Dengan demikian, akhirnya China sendiri yang mewujudkan ramalan akan mereka.
Memenangkan hati dan pikiran pihak yang selama ini tidak memihak memang perlu strategi, tapi penting juga bagi China untuk bisa mencukupi sendiri kebutuhan mereka yang selama ini masih menggantungkan impor.
China harus mulai memenuhi kebutuhan semikonduktor dan energi mereka, dan juga harus mengenali kekuatan tajam tidak bisa menggantikan kekuatan halus.
Entah apa yang akan dipilih China antara Investasi Bank Infrastruktur Asia atau Belt and Road Initiative, Beijing harus menjembatani kepentingan negara yang mereka ingin ajak bekerjasama dalam visi ekonomi China.
Secara sederhana, proyek luar negeri China tidak harus menjadi imperialis, atau tidak perlu kepentingan pribadi Beijing saja.
Dengan AS semakin garang terhadap China, Beijing harus memperbaiki hubungan dengan Uni Eropa.
Dengan melakukan hal itu, China seharusnya menghindari menentang rekomendasi kemungkinan sekutu yang moderat dan pragmatis dengan tanpa menyerang ideologi negara mitra mereka.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini