Satu paradoks yang ada adalah semakin banyak kebiasaan yang berubah memberi kita semua waktu untuk berpikir, tapi keinginan untuk berpikir dan menelaah kejadian semakin berkurang.
Sosok pusat di novel karangan le Carre, Smiley, mempertanyakan dua negara adidaya yang bertarung di pra-1989 apakah sebenarnya dua negara yang serupa.
Seiring berjalannya waktu, pemikiran yang berupa keraguan malah bisa menciptakan ketidakpercayaan ideologi dari kedua belah pihak.
Menjadi yang paling kuat di antara yang terkuat mungkin sudah tidak relevan di saat ini, seharusnya China dan AS berpikir demikian.
Namun akan ironis jika Covid-19 justru menenangkan dua kepala adidaya, tentunya olok-olok "virus China" tidak akan masuk akal.
Kita tidak dapat hanya mengharapkan jika kedua negara mulai berniat saling memaafkan.
Semua kembali ke kita semua, yang pastinya lebih sadar jika pemerintah kita membuat kesalahan.
Hanya melalui pengamatan objektif yang setara baru pusat kemanusiaan bisa tercapai, dan menghindarkan umat manusia dari perang dingin lain.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini