Wanita tua itu berkata, “Ini anakku, aku yakin kita bisa melakukan sesuatu untukmu.”
Wanita tua itu memberi isyarat kepada anaknya dan bersama-sama mereka membuka kancing kemeja prajurit yang dikecam ketakutan itu.
Atas permintaannya, sang anak, karena desakan ibunya, mengambil peluru di tengah aliran darah yang terus-menerus keluar.
Anak laki-laki membersihkannya, mengoleskan salep dan membalutnya. “Itu yang terbaik yang bisa saya lakukan. Anda harus menemui dokter,” katanya.
“Saya akan berangkat sekarang,” kata prajurit itu, berusaha bangkit, tapi tidak berhasil.
Wanita tua itu berkata dengan tegas, “Tidak mungkin! Kamu tidak bisa pergi ke mana-mana. Besok pagi, bila kau menginginkannya, pergilah. Tapi sekarang, kamu berada di bawah perawatan saya. Tidurlah sekarang!”
Esok paginya, setelah sarapan bubur panas yang sehat, tentara muda itu berkata kepada wanita tua itu, “Bagaimana saya bisa berterima kasih?”
Wanita tua itu menjawab, “Dengan membunuh permusuhan. Bukan musuh.”
(Baca juga: Tak Bisa Gunakan Photoshop, Pria Ini 10 Tahun Belajar Gunakan Microsoft Paint. Hasilnya Mengagumkan!)
Prajurit muda itu tercengang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya ia berkata, “Saya akan mencoba yang terbaik.” Ia mengulurkan tangannya ke arah anak laki-laki itu, lalu segera mengubah jabat tangan itu menjadi pelukan.
Prajurit itu berkata:
“Kita semua membutuhkan seseorang seperti ibumu, untuk memberitahu kita bahwa permusuhanlah yang harus dibunuh, bukan musuh. Musuh juga terbuat dari daging dan darah seperti kita dan beberapa di antaranya memiliki hati emas. Saya berjanji untuk mencoba yang terbaik. Saya harap juga begitu.”
Prajurit muda itu pergi. Tapi malam itu ia mengerti arti istilah “persaudaraan manusia” Ia tahu bahwa hanya satu senjata yang dibutuhkan untuk membunuh semua permusuhan. Satu senjata itu adalah Cinta.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR