Senjata untuk Membunuh Permusuhan Itu Bernama: CINTA

Moh Habib Asyhad

Penulis

Kisah cinta Obama-Michelle
Kisah cinta Obama-Michelle

Intisari-Online.com – Alkisah, dua negara sedang berperang. Banyak tentara tewas di kedua negara tersebut.

Daerah perbatasan adalah pemandangan kematian dan kehancuran.

(Baca juga:Puasa Ramadan 2017 Dipastikan Berbarengan, Bagaimana dengan Lebarannya?)

Setiap malam tentara akan kembali ke barak mereka, dengan beberapa orang terluka, beberapa kecewa, dan beberapa memendam dendam.

Yang lainnya meninggal dan tidak pernah kembali.

Suatu malam, seorang tentara yang terluka, mengetuk sebuah pondok yang sepi dalam gelap yang mengerikan. Seorang wanita tua membuka pintu.

Tanpa pertanyaa, keragu-raguan, atau takut, ia membiarkan pemuda itu masuk. Pemuda itu berkata dengan kasar, “Saya punya peluru di lenganku. Saya butuh bantuan.”

Wanita tua itu berkata, “Dengar pemuda, saya sendirian di sini. Anakku juga tentara, tapi ia tidak ada di sini.

Saya akan melakukan apapun yang saya bisa untuk membantumu. Duduklah di bawah kayu api dan buat dirimu hangat.”

Wanita tua itu membawakan teh panas dan beberapa potong roti. “Makanlah,” katanya singkat.

Pemuda itu menyesap tehnya, melihat sekeliling dengan tidak nyaman. Ia bahkan tidak yakin, jika ia berada di wilayahnya sendiri.

Haruskah ia bertanya pada wanita tua itu?

Jika itu wilayah musuh, ia pasti akan menemukan cara untuk membunuhnya! Mungkin saja dengan meracuninya! Ia benar-benar tak berdaya. Ia telah kehilangan banyak darah.

(Baca juga:Nicky Hayden Meninggal Dunia dan Bahaya Menggunakan Earphone saat Bersepeda)

Wanita tua itu berkata, “Haruskah saya membantu melepaskan kaus itu, mungkin saya bisa melihat lukamu itu.”

Prajurit muda itu meringis dan berkata, “Tidak ada yang bisa Anda lakukan. Biarkan saja.” Tapi wanita tua itu tahu bahwa prajurit itu membutuhkan pertolongan dan segera.

Satu jam kemudian terdengar ketukan lagi di pintu. Seorang prajurit muda lain masuk, “Mama!”

“Oh! Kau anakku! Sudah berhari-hari. Saya sangat senang kau kembali ke rumah,” kata wanita tua itu.

Prajurit muda itu melihat ada tentara lain dan bertanya, “Mama! Siapa itu?”

Wanita tua itu menjawab, “Ssh! Ia baru saja tidur. Hati-hati, jangan sampai kau membangunkannya.”

Anak laki-laki itu berkata singkat, “Ia adalah musuh, Mama! Mama membuat kami semua dalam bahaya dengan membiarkannya masuk.”

Sang ibu berkata, “Tapi, dia terluka parah. Lihatlah anakku, musuh atau bukan, kau harus membantunya.”

Anak laki-laki itu mengucapkan beberapa kata-kata pedas tapi ia tetap berdiri tegak.

Permainan kata-kata yang panas itu membangunkan prajurit yang terluka itu. Dalam sekejap ia melihat seorang tentara dan ia menyadari bahwa ia berada di kawasan musuh.

Wanita tua itu berkata, “Ini anakku, aku yakin kita bisa melakukan sesuatu untukmu.”

Wanita tua itu memberi isyarat kepada anaknya dan bersama-sama mereka membuka kancing kemeja prajurit yang dikecam ketakutan itu.

Atas permintaannya, sang anak, karena desakan ibunya, mengambil peluru di tengah aliran darah yang terus-menerus keluar.

Anak laki-laki membersihkannya, mengoleskan salep dan membalutnya. “Itu yang terbaik yang bisa saya lakukan. Anda harus menemui dokter,” katanya.

“Saya akan berangkat sekarang,” kata prajurit itu, berusaha bangkit, tapi tidak berhasil.

Wanita tua itu berkata dengan tegas, “Tidak mungkin! Kamu tidak bisa pergi ke mana-mana. Besok pagi, bila kau menginginkannya, pergilah. Tapi sekarang, kamu berada di bawah perawatan saya. Tidurlah sekarang!”

Esok paginya, setelah sarapan bubur panas yang sehat, tentara muda itu berkata kepada wanita tua itu, “Bagaimana saya bisa berterima kasih?”

Wanita tua itu menjawab, “Dengan membunuh permusuhan. Bukan musuh.”

(Baca juga:Tak Bisa Gunakan Photoshop, Pria Ini 10 Tahun Belajar Gunakan Microsoft Paint. Hasilnya Mengagumkan!)

Prajurit muda itu tercengang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya ia berkata, “Saya akan mencoba yang terbaik.” Ia mengulurkan tangannya ke arah anak laki-laki itu, lalu segera mengubah jabat tangan itu menjadi pelukan.

Prajurit itu berkata:

“Kita semua membutuhkan seseorang seperti ibumu, untuk memberitahu kita bahwa permusuhanlah yang harus dibunuh, bukan musuh. Musuh juga terbuat dari daging dan darah seperti kita dan beberapa di antaranya memiliki hati emas. Saya berjanji untuk mencoba yang terbaik. Saya harap juga begitu.”

Prajurit muda itu pergi. Tapi malam itu ia mengerti arti istilah “persaudaraan manusia” Ia tahu bahwa hanya satu senjata yang dibutuhkan untuk membunuh semua permusuhan. Satu senjata itu adalah Cinta.

Artikel Terkait