Intisari-Online.com – Seorang pria sangat iri pada tetangganya. Padahal, dia menghabiskan waktu berjam-jam dalam doa dan meditasi. Apalagi dia merupakan seorang peserta aktif dari semua program retret. Sayang, pikirannya tidak murni. Ia selalu memiliki kebencian, iri hati, dan permusuhan terhadap tetangganya. Ia ingin menjadi yang paling unggul terhadap tetangganya dalam setiap aspek kehidupan.
Pada suatu malam, Tuhan muncul di hadapannya dalam mimpi dan berkata, “Saya senang dengan doa dan pujian. Apalagi meminta hadiah. Hal itu akan diberikan. Tetapi tetanggamu akan mendapatkan hadiah yang sama dalam jumlah ganda.”
Ia senang dengan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya. Tapi ia sedih karena tetangganya akan mendapatkan hadiah yang lebih besar. Ia merencanakan sesuatu dan meminta Tuhan memberikannya hadiah. Ia meminta, “Tuhan, hancurkan penglihatan di salah satu mata saya.” Maka, terjadilah demikian. Meskipun ia menyesal dengan cacatnya, ia senang karena tetangganya akan kehilangan penglihatan di kedua matanya dan mengalami kebutaan.
Dengan mata satu, ia mengintip ke rumah tetangganya. Tapi ia terkejut melihat tetangganya bahagia berjalan-jalan tanpa cacat apapun. Penglihatannya tidak hilang! Bingung, ia mengeluh kepada Tuhan, “Mengapa Engkau tidak menjaga kata-kataMu sendiri, Tuhan? Engkau tidak memberikan tetangga saya karunia kebutaan seperti yang diberikan kepada saya, dalam ukuran ganda.”
Tuhan berkata, “Anakku, Aku selalu menjaga kata-kataKu. Kebutaan bukan hadiah, tapi kutukan. Kau memiliki karunia penglihatan hanya dalam satu mata sekarang, seperti yang kau minta. Tetapi tetanggamu memiliki penglihatan di kedua matanya. Ia diberikan karunia penglihatan dalam ukuran ganda.”
Tiba-tiba pria itu terbangun dari mimpinya. Sejenak ia menyadari bahwa peristiwa tadi hanyalah mimpi. Ia memeriksa penglihatannya dan lega ternyata masih utuh. Ia berpikir tentang mimpinya itu. Ia yakin bahwa itu adalah pesan dari Tuhan. Ia berpikir betapa bodohnya ia meminta cacat demi permusuhan dengan tetangganya. Ia merasa tercerahkan dengan mimpi itu. Pria itu pun pergi ke tetangganya, dan meminta maaf karena telah berpikir, berbicara, dan bertindak terhadap dirinya. Mereka saling berpelukan dan berteman baik setelahnya.