Ibukota pun dipidahkan ke daerah Sumatra. Soedirman yang saat itu bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta dan tengah sakit melaporkan pada presiden bahwa pasukan TNI sudah mengantisipasi keadaan.
Soedirman ternyata malah diperintahkan tetap di ibukota untuk menjalani perawatan.
Namun, Soedirman memilih memimpin anak buahnya dan terus melancarkan perlawanan terhadap Belanda melalui perang gerilya.
Dengan kondisi sakit dan ditandu, Soedirman lalu membawa pasukannya menyingkir ke kawasan Selatan Yogykarta.
Kendati melancarkan perang gerilya, Soedirman tetap menjalankan operasi secara teratur dan terorganisasi.
Ia menerapkan sistem Wehrkreise atau pertahanan daerah.
Jadi sekalipun yang dilancarkan adalah perang gerilya, komandan pasukan yang bertanggung jawab menguasai suatu wilayah diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan.
Adapun strategi perang yang dilancarkan adalah strategi perongrongan yang dilaksanakan dalam jangka panjang.
Sistem Wehrkreise itu kemudian disahkan penerapannya dalam Surat Perintah Siasat No.1 yang ditandatangani oleh Panglima Besar Soedirman pada bulan November 1948.
Komando yang diorganisir oleh Soedirman menjadi makin mantap ketika pada tanggal 1 April 1949, Ia bersama para stafnya menetap di desa Pakis, Pacitan, Jawa Timur.
Hubungan dengan pejabat Yogya dan Sumatera pun berjalan baik berkat pemancar radio rahasia.
Setelah sukses menggelar Serangan Umum yang dipimpin oleh komandn Wehrkreise III, Letkol Soeharto, dan Yogyakarta kembali ke pangkuan RI, Soedirman pun turun gunung.
Pada tanggal 29 Jnuari 1950, Soedirman wafat dan oleh pemerintah pangkatnya yang semula Letnan Jenderal dinaikkan menjadi Jenderal penuh.
Jadi Soedirman ketika menjabat sebagai Panglima Besar pangkatnya adalah Brigadir Jenderal, dan pangkat Jenderal penuh bintang empat didapatnya secara anumerta.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, di samping makam Letjen TNI Oerip Soemohardjo.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR