Intisari-Online.com -Sampai tanggal 12 November 1945, Pak Dirman memimpin Divisi V yang wilayahnya meliputi Karesidenan Banyumas dan Kedu. Kolonel yang baru saja dipilih menjadi Panglima ini (tinggal menunggu pelantikan), pada tanggal 26 November 1945 menghadapi serbuan tentara Inggris yang diboncengi Belanda dari Semarang.
Ia kemudian menyerang balik lawan yang ketika itu sudah menduduki Kota Ambarawa. Para komandan sektor bawahannya diminta berkumpul di Magelang untuk merundingkan siasat merebut Ambarawa. Jalan antara Semarang – Ambarawa harus dikuasai sepenuhnya dengan sergapan mendadak terhadap pasukan musuh yang mondar-mandir di antara kedua tempat itu. Serangan umum ke Ambarawa pun dilakukan serentak di semua sektor, menjelang fajar 12 Desember 1945. Komando penyerangan disampaikan dengan isyarat tembakan pistol.
Sehari penuh, pertempuran berlangsung!
Baru pada hari keempat, 15 Desember, pasukan Indonesia berhasil merebut Ambarawa. Hal itu tidak lepas dari koordinasi rapi antarkomandan sektor, dan siasat jitu rancangan Panglima Soedirman dari Magelang. Pertempuran itu kemudian dikenal sebagai Palagan Ambarawa.
Keteguhan hati Jenderal Soedirman makin tampak ketika ia hendak menghadiri perundingan gencatan senjata dengan Belanda. Minggu 20 Oktober 1946, bersama Kepala Staf APRI, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, dari Yogya ia bertolak ke Jakarta menggunakan kereta api luar biasa (KLB). Apa lacur mendekati Jakarta, di Stasiun Klender, KLB itu dihentikan oleh tentara Belanda. Mereka meminta agar pengawal Panglima tidak membawa senjata; kalau ingin memasuki Jakarta.
"Aturan apa itu, pengawal panglima dilarang membawa senjata!" tegas Jenderal Soedirman sebagai reaksi. "Tidak! Tidak bisa begitu! Ini pelanggaran kehormatan panglima tentara negara yang berdaulat! Kita kembali ke Yogya saja!"
Perundingan gencatan senjata pun batal.
Blunder tentara Belanda di perbatasan kemudian buru-buru dikoreksi oleh pemerintahnya. Melalui kawat kereta api, mereka meminta maaf atas insiden konyol itu, yang disampaikan kepada Panglima di Stasiun Cirebon, ketika KLB berhenti di sana. Panglima diharap berkenan ke Jakarta lagi beserta para pengawalnya. Kali ini boleh membawa senjata!
Pak Dirman menolak. Perundingan gencatan senjata pun terpaksa tertunda berhari-hari sampai tentara Inggris di Jakarta yang bertugas menyelenggarakan gencatan senjata kebakaran jenggot. Perundingan baru bisa dimulai November 1946, saat Jenderal Soedirman datang ke Jakarta lagi. Kali ini ia dijemput seorang pembesar Inggris di perbatasan Bekasi, karena mereka tidak mau kecolongan serdadu rendahan Belanda lagi.
Gencatan senjata itu menghasilkan Persetujuan Linggarjati. Walaupun persetujuan itu sangat merugikan Indonesia, namun Tentara Rakyat Indonesia (TRI: nama baru bagi TKR sejak 24 Januari 1946) sebagai unsur negara harus patuh. Panglima Soedirman berhasil menenteramkan para komandan TRI daerah yang semula tidak mau menerima Persetujuan Linggarjati. Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 2000 dengan judul "Soedirman Sang Guru yang Jadi Panglima".