Advertorial
Intisari-Online.com -Soedirman dilahirkan pada 4 Januari 1916 di desa Bodaskarangjati, Rembang, Purbalingga, Jawa Tegah.
Ayah Soedirman, Karsid Kartawiradji dan ibunya, Siyem merupakan petani yang tak terpikir untuk menyekolahkan anaknya pada masa itu.
Beruntung, Soedirman diangkat anak oleh asisten Camat Rembang, R Tjokrosunaryo dan kemudian menyekolahkannya.
Pada usia tujuh tahun Soedirman masuk HIS (Sekolah Dasar) dan mendapat tambahan pendidikan sopan santun, hidup hemat dan belajar disiplin dari ayah dan ibu angkatnya.
Setelah lulus SD pada tahun 1932, Soedirman masuk MULO (SMP) dan setahun kemudian pindah ke Perguruan Parama Wiworo serta lulus dengan nilai yang bagus ( 1935).
Soedirman juga aktif pada kegiatan Pandu (Pramuka) yang kemudian menjadi ajang bagi dirinya berlatih sebagai pemimpin sekaligus menunjukkan bakat militernya.
Lulus HIS Soedirman kemudian menjalani profesinya sebagai guru dan pada tahun 1936 menikah dengan Siti Alfiah serta tinggal di Cilacap, Jawa Tengah.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia, tempat mengajar Soedirman, Sekolah Muhammadiah ditutup tapi berkat upaya gigihnya, sekolah itu dibuka lagi.
(Baca juga:HUT TNI: Berkali-kali Terhindar dari Maut, Namun oleh Kumanlah Nyawa Jenderal Soedirman Terenggut)
Ketika Jepang mengumumkan pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Soedirman yang saat itu sudah menjadi tokoh masyarakat mengikuti latihan PETA, dan diangkat sebagai komandan batalion, Daidanco, yang bermarkas di daerah Kroya, Banyumas.
Saat terjadi pemberontakan PETA, Soedirman termasuk perwira yang dianggap berbahaya dan diberi perlakuan tersendiri.
Ada kemungkinan Soedirman malah akan disingkirkn oleh Jepang secara rahasia.
Tapi sebelum Jepang melaksanakan niatnya, tiba-tiba Sekutu berhasil memenangkan perang.
PETA pun dibubarkan dan selanjutnya, Soedirman mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Setelah berhasil membentuk BKR bersama tokoh masyarakat Banyumas, Soedirman berhasil melancarkan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang secara damai.
Oleh karena itu pasukan Jepang yang dipimpin Mayor Yuda dengan senang hati menyerahkan kekuasaan termasuk persenjataan yang dimiliki.
Senjata yang diperoleh dari pengambilalihan kekuasaan itu cukup banyak sehingga BKR Banyumas menjadi kesatuan yang memiliki senjata paling lengkap.
Ketika Sekutu mendarat dengan diboncengi tentara Belanda dan bertugas melucuti serta menawan tentara Jepang, konflik pun pecah.
Pertempuran besar antara Sekutu dan tentara Indonesia akhirnya tak tercegah seperti peristiwa heroik 10 November di Surabaya.
Soedirman yang saat itu diangkat sebagai Panglima Divisi Sunan Gunung Jati atau Divisi V dan bertanggung jawab atas wilayah Kedu serta Banyumas pun kebagian tugas untuk menghadang pasukan Sekutu yag berangkat dari Semarang menuju Ambrawa.
Perang besar pun meletus di Ambarawa dan berhasil dimenangkan pasukan Soedirman.
Berkat prestasi itu Soedirman yang semula berpangkat Kolonel dinaikan jabatannya menjadi Panglima Besar berpangkat Brigadir Jenderal.
Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Ibukota RI, Yogyakarta dan kemudian bergerak ke seluruh wilayah RI.
Ibukota pun dipidahkan ke daerah Sumatra. Soedirman yang saat itu bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta dan tengah sakit melaporkan pada presiden bahwa pasukan TNI sudah mengantisipasi keadaan.
Soedirman ternyata malah diperintahkan tetap di ibukota untuk menjalani perawatan.
Namun, Soedirman memilih memimpin anak buahnya dan terus melancarkan perlawanan terhadap Belanda melalui perang gerilya.
Dengan kondisi sakit dan ditandu, Soedirman lalu membawa pasukannya menyingkir ke kawasan Selatan Yogykarta.
Kendati melancarkan perang gerilya, Soedirman tetap menjalankan operasi secara teratur dan terorganisasi.
Ia menerapkan sistem Wehrkreise atau pertahanan daerah.
Jadi sekalipun yang dilancarkan adalah perang gerilya, komandan pasukan yang bertanggung jawab menguasai suatu wilayah diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan.
Adapun strategi perang yang dilancarkan adalah strategi perongrongan yang dilaksanakan dalam jangka panjang.
Sistem Wehrkreise itu kemudian disahkan penerapannya dalam Surat Perintah Siasat No.1 yang ditandatangani oleh Panglima Besar Soedirman pada bulan November 1948.
Komando yang diorganisir oleh Soedirman menjadi makin mantap ketika pada tanggal 1 April 1949, Ia bersama para stafnya menetap di desa Pakis, Pacitan, Jawa Timur.
Hubungan dengan pejabat Yogya dan Sumatera pun berjalan baik berkat pemancar radio rahasia.
Setelah sukses menggelar Serangan Umum yang dipimpin oleh komandn Wehrkreise III, Letkol Soeharto, dan Yogyakarta kembali ke pangkuan RI, Soedirman pun turun gunung.
Pada tanggal 29 Jnuari 1950, Soedirman wafat dan oleh pemerintah pangkatnya yang semula Letnan Jenderal dinaikkan menjadi Jenderal penuh.
Jadi Soedirman ketika menjabat sebagai Panglima Besar pangkatnya adalah Brigadir Jenderal, dan pangkat Jenderal penuh bintang empat didapatnya secara anumerta.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, di samping makam Letjen TNI Oerip Soemohardjo.