Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar: Biasa Mengambil Risiko

Moh Habib Asyhad

Editor

Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar: Biasa Mengambil Risiko
Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar: Biasa Mengambil Risiko

Intisari-Online.com -Pihak Belanda melanggar Persetujuan Linggarjati itu, dengan melancarkan agresi militer I bulan Juli 1947. Setelah merebut beberapa ibukota karesidenan di pantai utara Jawa, mereka minta gencatan senjata lagi. Hasilnya Persetujuan Renville, dilakukan di atas kapal perang Amerika Serikat yang berlabuh di Tanjungpriok tanggal 2 Desember 1947.

Republik Indonesia dirugikan lagi. Kota-kota yang sudah direbut Belanda tidak dikembalikan ke RI. Akibatnya, 35.000 personel Tentara Nasional Indonesia (TNI; nama baru bagi TRI sejak 3 Juni 1947) harus dipindahkan dari kantung-kantung pertahanan di Jawa Barat yang dikuasai Belanda. Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Yogya. Suatu hal yang tidak pernah bisa dilakukan melalui perang oleh tentara Belanda.

Namun kehadiran Divisi Siliwangi di Yogya dan Solo malah mempertinggi daya tempur tentara. Panglima Soedirman mengerahkan divisi itu (di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution) untuk menumpas pemberontakan PKI-Muso 18 September 1948.

Pemberontakan dapat ditumpas, Repubiik Indonesia tidak jadi berantakan. Keberhasilan menumpas PKI ini rupanya. membuat Amerika Serikat yakin bahwa Indonesia antikomunis. Mereka mendesak Belanda agar segera mengakui RI sebagai negara berdaulat. Tetapi desakan itu justru dibalas dengan agresi II ke Yogya 18 Desember 1948.

"Menjelang fajar," tulis Vaandrig (pangkat bintara militer di bawah letnan dua) Oetojo Kolopaking (Intisari Maret 1968), "beberapa pesawat Dakota hijau belang-belang menderu bersama pesawat pemburu Mustang cocor merah di atas kota."

"Dalam keadaan yang mencekam itu, para perwira di rumah dinas Pak Dirman keluar untuk menilai medan, lalu kembali lagi mendekati Pak Dirman yang berdiri di serambi depan. Mereka membisikkan sesuatu padanya dengan mendekatkan kepala masing-masing, ke kepala Pak Dirman, seakan-akan khawatir kalau bisikannya akan terdengar oleh serdadu Belanda dalam pesawat yang menderu-deru."

Ongkos sendiri

"Waktu rasanya berjalan amat kencang," tulis Oetojo lagi, yang waktu itu bertugas sebagai anggota regu pengawal Panglima di rumah dinas Pak Dirman di Bintaran Tengah, Yogya. "Ketika matahari sudah mulai menyengat, seorang kapten keluar dari rumah membawa secarik kertas dari Pak Dirman ke pos jaga tempat saya bertugas. Saya harus membacakan isinya, berupa tulisan tangan, kata demi kata lewat telepon di rumah jaga ke RRI Yogya agar disiarkan ke seluruh negeri."

Isi pokoknya ialah perintah kilat kepada seluruh angkatan perang bahwa RI diserang Belanda lewat lapangan terbang Maguwo. Semua anggota TNI harus menjalankan tugas masing-masing sesuai rencana yang sudah ditetapkan.

Tidak lama kemudian, Ajudan Panglima, Kapten Soepardjo Roestam, diutus ke Gedung Agung untuk menyampaikan kepada Presiden agar bersiap-siap meninggalkan kota. Gedung Agung di Jalan Malioboro, di tengah kota, adalah bekas kediaman Gubernur Belanda yang ditempati Presiden RI zaman perang kemerdekaan. Tetapi, sampai siang hari, Kapten Soepardjo belum kembali.

Karena habis kesabarannya, Pak Dirman memutuskan untuk berangkat sendiri ke Gedung Agung. Dalam keadaan sakit dan masih mengenakan piyama ditutup mantel tentara warna hijau, dengan blangkon (ikat kepala) wulung (hitam), ia hendak menemui Presiden Soekarno untuk mendapatkan keputusan, kebijakan apa yang harus diambil dalam situasi gawat ini. Namun, setiba di Gedung Agung, Pak Dirman tidak dapat segera bertemu dengan Presiden, karena harus menunggu dimulainya sidang kabinet di ruang tamu.

Sementara itu, serangan udara Belanda makin gencar. Benteng Vredeburg di depan Gedung Agung ditembaki dan dibom sampai salah satu bangunan yang ditempati Kementerian Pertahanan hancur. Tetapi sidang kabinet belum juga dimulai, karena menunggu kedatangan Wakil Presiden Mohamad Hatta dari Kaliurang.

Pak Dirman merasa tidak berhasil menemui Presiden, dan minta kepada pengawalnya agar diantar kembali ke rumah dinasnya. Sudah bulat tekadnya untuk meninggalkan kota, dan mengatur siasat dari luar Yogya saja.

Pukul 11.30, Pak Dirman meninggalkan kota dengan mobil tentara bersama dr. Soewondo (dokter pribadinya), Kapten Soepardjo Roestam, dan Kapten Tjokropranolo (pengawal pribadinya). Sesuai rencana, mereka bertolak ke Kediri. Dari kota itulah perlawanan akan diatur. Tentara Belanda waktu itu hanya menguasai kota-kota besar di pantai utara. Daerah pantai selatan Jawa masih dikuasai RI. Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 2000 dengan judul "Soedirman Sang Guru yang Jadi Panglima".