Bagi para penggemar film zaman pesawat ruang angkasa sekarang ini, nonton film bisu tempo doeloe niscaya akan merasa canggung.
Paling tidak, mereka akan merasa kehilangan suara-suara dan bunyi-bunyi yang biasa terdengar dari film-film bersuara zaman sekarang.
Namanya film bisu, maka segalanya serba bisu, sunyi sepi. Adegan sebuah jalan yang sangat ramai, misalnya, atau adegan seseorang marah-marah, menendangi meja-kursi atau menggebrak pintu, demikian juga adegan-adegan orang berbicara serba membisu.
Untuk adegan percakapan, dialog diganti dengan teks.
Teks-teks ini bukan di bawah gambar, seperti terjemahan dialog film sekarang, tetapi 'memotong-motong' adegan bersangkutan, sehingga mengganggu urut-urutan adegan.
Bagi para penonton bioskop tempo doeloe, hal itu bukan hambatan. Lebih-lebih karena kehadiran orkes mini tadi, yang lagu-lagunya berfungsi sebagai musik pengiring setiap adegan.
Sama dengan ilustrasi musik film-film bersuara zaman sekarang, lagu-lagu yang dialunkan orkes mini itu disesuaikan dengan corak adegan yang sedang berlangsung di layar.
Adegan-adegan serius diiringi lagu-lagu tenang, misalnya walz atau irama lambat. Adegan-adegan mengharukan atau sedih dikuatkan dengan lagu-lagu sedih pula.
Dalam bioskop-bioskop di 'kota' biasanya lagu Stambul II. Lagu-lagu mars yang berirama cepat menyambut serta mengiringi adegan-adegan yang hebat dan seru; seperti kejaran:kejaran di atas kuda, perkelahian dan sebagainya.
Bang Amat, pemain biola yang cekatan
Pemimpin orkes serta pemain melodi (biasanya pemain biola) harus cekatan sekali.
Mereka harus bisa beralih dari irama yang satu ke irama yang lain bertepatan dengan perkembangan adegan-adegan di layar putih.
Terlambat beberapa detik saja niscaya akan memancing teriakan-teriakan kurang senang dari penonton.
Orkes pengiring bioskop Orion di Glodok pada zaman itu dipimpin oleh pemain biola Amat.
Di antara para penonton langganan Orion pada masa itu, juga di kalangan remaja penggemar bioskop, ia cukup populer.
Usianya sudah 40 tahun lebih, mungkin mendekati 50 tahun, dan berkacamata. Dia sangat cekatan dalam mengalihkan irama musiknya bolak-balik.
Secara berkelakar teman-teman saya mengatakan bahwa bang Amat seorang pemain biola yang tiada taranya.
"Juara biola mana," demikian tanya mereka, "yang dapat menggesek biola tanpa menjepit di antara dagu dan pundak, melainkan cukup ditopangkan di dada kiri?"
Bang Amat memang sering memperlihatkan sikap menggesek biola yang aneh ini. Sementara mata terus mengikuti perkembangan adegan-adegan di layar, jari-jari tangan kiri terus-menerus menari-nari di atas dawai dan tangan kanan menggerakkan alat penggesek seperti orang menggergaji.
Setiap saat dia siap untuk langsung beralih dari irama yang satu ke irama yang lain. Benar-benar suatu prestasi yang patut diketengahkan.
Kendati demikian, kadang kala bang Amat pun diteriaki penonton karena terlambat mengganti irama.
Apalagi jika pertunjukan kedua, yang dimulai jam 9.00 malam, sudah semakin mendekati akhirnya.
Maklum, mungkin ia sudah agak ngantuk!
(Ditulis oleh Tanu Trh. Seperti dimuat dalam Buku Batavia; Kisah Jakarta Tempo Doeloe – Intisari)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR