Selera masyarakat di bovenstad lebih condong kepada film-film drama.
Di daerah 'kota' film-film Western sangat digemari. Lebih-lebih kalau dibintangi aktor-aktor kesayangan penonton, yang bukan saja tampan tetapi juga pandai main jotosan.
Misalnya Eddie Polo, Harry Cary, Hoot Gibson dan sebagainya. Saya masih ingat nama-nama ini karena saya tergolong salah satu penggemar mereka di waktu masih remaja.
Harry Cary terkadang masih muncul dalam film-film TV pada tahun 70-an.
(Baca juga: Menatap Braga Tempo Doeloe)
Pertunjukan berlangsung satu jam lebih tanpa istirahat seperti kebiasaan sekarang. Istirahat (kerennya: pauze) memang tidak perlu.
Pada masa itu bioskop-bioskop belum menggunakan proyektor ganda (masing-masing berkapasitas 4 reel). Proyektor yang dipergunakan berkapasitas 1 reel, lagipula hanya sebuah.
Jika satu reel sudah terputar habis, terpaksa berhenti dulu untuk memasang reel baru pada proyektor.
Waktu menunggu bagi penonton diisi dengan penampilan slide-slide reklame atau film-film yang akan datang. Waktu itu istilah populernya 'gambar mati'.
Maka kalau dalam satu kali pertunjukan diputar 6 reel film, terjadilah lima kali selingan 'gambar mati', tiap kali selama beberapa menit.
Kalau beberapa menit itu dikali lima, maka kita akan mendapatkan jumlah waktu yang kira-kira sama dengan jangka waktu istirahat dalam pertunjukan-pertunjukan film sekarang.
Diiringi orkes
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR