Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (2): "Orang Jakarta Sejak di Dalam Rahim Sampai Mati Itu Tanggung Jawab Saya"

K. Tatik Wardayati

Editor

Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (2):
Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (2):

Intisari-Online.com – Siapa tak kenal Ali Sadikin? Pada masanya, mantan gubernur DKI Jaya ini begitu dicintai rakyatnya karena bisa mengubah wajah Jakarta. Kini di usianya yang senja, ia tetap setia meluncurkan pemikiran-pemikirannya dengan semangat yang masih menyala. Tulisan ini penah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2005, dengan judul asli Sewaktu Bang Ali Mengatur Betawi, dan ditulis oleh T. Tjahjo Widyasmoro & A. Bimo Wijoseno.

--

"Kita tidak punya apa-apa, tapi tetap harus melayani rakyat sebaik-baiknya, terutama yang lemah. Dasarnya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan," kata Ali. "Orang Jakarta sejak di dalam rahim sampai mati itu tanggung jawab saya."

Untuk mengatasi segunung persoalan bukanlah soal gampang. Anggaran belanja Pemda DKI saat itu hanya Rp 66 juta, yang hanya cukup untuk kegiatan rutin (setahun kemudian angka itu berhasil digenjot lewat penarikan pajak dan retribusi menjadi Rp 200 jutaan). Ali kemudian mempunyai master plan pembangunan kota untuk 20 tahun kemudian. "No tax, no service," kata pelaut kelahiran Sumedang ini tentang prinsip pelayanannya.

Gambaran Ali di masa itu mungkin mirip Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang dijuluki jagoan mendulang uang untuk anggaran. Ali bekerja keras mencari dana dari semua sumber yang memungkinkan. Bahkan kala itu ada semacam dana taktis. "Dari penghasilan yang tidak tercantum," terangnya tanpa merinci lebih lanjut. Setiap empat bulan, DPRD diundang untuk mengaudit. Di akhir tahun anggaran, dana itu ditambahkan sebagai surplus.

Kegigihan Ali soal mencari dana kemudian menyeretnya dalam persoalan legalisasi lokasi perjudian yang menimbulkan kontroversi. la berani karena ada Undang-Undang No. 11 tahun 1957 yang memungkinkan Kepala Daerah memungut pajak dari izin judi. Sebenarnya, para walikota Jakarta (belum jadi provinsi) sebelumnya pernah memiliki rencana serupa tapi selalu dihadang tentangan. "Saya berani, demi rakyat Jakarta," kata Gubernur koppigheid yang terdesak kebutuhan warganya ini. Sejak akhir dekade 1960-an, judi pun bergulir dengan nama mulai Lotere Totalisator (lotto) sampai hwa hwe.

Awalnya, Pemda mengatur ketat soal judi ini. Yang boleh bermain hanya orang-orang yang karena budaya atau way of life-nya tidak bisa melepaskan judi, terutama kaum keturunan Tionghoa atau warga negara asing. "Orang kita tidak boleh judi, apalagi orang Islam!" seru Ali. la memang mengecualikan orang-orang tertentu berjudi untuk mencegah mereka main di luar negeri. Belakangan, hwa hwe ramai juga dimainkan orang pribumi.

Tentangan terhadap kebijakan Gubernur tidak pernah surut, tapi Ali jalan terus dengan membuktikan hasilnya. Antara lain yang langsung dirasakan rakyat adalah perbaikan kampung, pembangunan gedung sekolah dan Puskesmas, juga subsidi rumah sakit swasta agar tersedia tempat bagi orang miskin. "Apa semua itu saya dapatkan duitnya cukup dengan kentut? Apa cukup berdoa saja?" kata Ali tanpa bermaksud melucu. "Yang penting, uangnya bisa dipertanggungjawabkan dan kelihatan hasilnya."

Berkat kegigihan Ali, pada akhir masa jabatannya 1977, anggaran Pemda DKI sudah mencapai Rp 90 miliar. Berhenti menjadi gubernur, bukan berarti tidak peduli pada Jakarta. Pada awal tahun ini, Ali masih tetap menyosialisasikan pemikiran-pemikiran tentang lokalisasi judi di depan anggota DPRD. "Pemda sekarang juga butuh duit. Untuk pengendalian banjir butuh sekitar Rp 23 triliun. Memangnya dari mana duitnya?" kata Penasihat Gubernur DKI yang resmi ini.

Pengabdi, bukan politikus

Di masa kepemimpinannya, Ali bukan hanya sekadar menjadi gubernur, ia bahkan menjadi sosok ayah untuk warganya. Dalam memoarnya, ia berkaIi-kali menyebut seluruh warga Jakarta sebagai sebuah keluarga besar. Pergaulannya luas bahkan mengayomi banyak kalangan seperti kepada olahragawan, seniman, pelajar, mahasiswa, sampai wartawan. Entah saat itu wartawan tidak kreatif dalam mencari berita atau penyebab lain, yang jelas ucapan Ali Sadikin hampir setiap hari muncul di koran untuk mengomentari banyak hal.

Begitu tergantungnya pada sang "ayah", warga Jakarta resah saat Ali harus pergi dua bulan mengantar istrinya berobat ke luar negeri. Tiba-tiba ibukota kacau. Listrik mati, PAM tidak nyala, banyak kebakaran, kriminalitas meningkat. Mengomentari hal itu, Harian KAMI menulis, "Jakarta terbiasa segala persoalannya dibereskan satu orang, yaitu Ali Sadikin. Giliran ia pergi sebentar, semua kalang kabut."

Ketika rakyat meminta sang "ayah" meneruskan jabatannya untuk periode ketiga, Ali menolak. "Bagi saya masa jabatan pejabat negara itu cukup dua term," alasannya. la menepis anggapan bahwa masa jabatannya tidak diperpanjang lantaran Golkar kalah di DKI pada Pemilu 1977. "Memang waktu itu saya pidato, intinya menyatakan bahwa 'saya ini bukan orang Golkar dan hanya bekerja untuk rakyat, bukan partai'. Saya ini pengabdi, bukan politikus," tegasnya.

Keterlibatannya dalam politik justru ditunjukkan kemudian dengan beroposisi terhadap pemerintahan Soeharto. Namun, tindakannya bersama puluhan politisi senior mendirikan Petisi 50 untuk mengkritik pemerintah berakibat pada hasil kerja susah payahnya. Kebijakan-kebijakannya banyak yang dihapuskan penggantinya, Tjokropranolo. Suatu keadaan yang disebut Ali sebagai de-Ali Sadikin-isasi. Padahal semasa menjadi gubernur, presiden sama sekali tidak pernah mencampuri urusan Pemda DKI.

Namun, Ali sampai saat ini mengaku tidak punya persoalan pribadi dengan Soeharto. April 2005 dalam acara HUT Taman Mini Indonesia Indah, untuk kesekian kalinya ia bertemu bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka duduk berdampingan, malah berpelukan. "Soeharto itu mesti diadili, tapi kemudian kita maafkan. Kita bicarakan saja berapa uangnya yang mesti dikembalikan kepada negara," kata Ali tentang sikapnya sejak dulu.

Di usia senja, rasa geramnya justru masih disisakan kepada pengguna jalan di Jakarta yang semakin tidak tahu aturan lalu lintas. Semua orang merasa jadi pemilik jalan, sehingga bisa berbuat seenaknya. "Kalau saya masih gubernur, tiap hari kerjanya menempeleng sopir terus," katanya dengan kening berkerut. Semua itu, menurut dia, harus dihadapi dengan kekerasan, yaitu hukum yang tegas.

Jakarta yang bulan Juni ini berulang tahun memang menyisakan banyak persoalan. Sayangnya, tak semua gubernur seperti Bang Ali. •