Anak-anak kecil paling getol berebutan kertas acara itu. Mereka berlarian menyongsong delman atau sado itu dan berusaha meraih kertas-keras yang beterbangan atau jatuh dekat roda.
Seringkali pak kusir tersentak kaget, sehingga ia menarik kendali kuda dengan mendadak, sambil mendelik dan berteriak, "Heh! Mau mati lu?'
Soal 'bioskop ngarak' (istilah orang Betawi) ini begitu mendarah daging di kalangan penggemar film sehingga selalu menjadi pokok pembicaraan bila mereka saling bertemu di jalan atau warung kopi.
(Baca juga: Keberadaan Rumah Bordil saat Batavia Batu Berdiri)
"Ini malam di bioskop Anu main apa ya? Apa belum kedengaran ngarak tadi?"
"Kwaci!"... "Palamanis!"... "Kacang Arab!"
Malamnya, sejak sebelum jam 19.00 keadaan sekitar gedung bioskop selalu ramai.
Kios-kios dengan penerangan listrik ala kadarnya dan para penjaja makanan serta minuman keliling dengan penerangan lampu tempel atau pelita, membuat pemandangan di sana lebih semarak.
Sebuah "orkes mini" (biasanya satu bipla, satu atau dua gitar, selo, kadang-kadang juga tambur) memperdengarkan lagu-lagu mars atau irama lain dengan bersemangat di depan gedung.
Mereka berusaha menarik perhatian khalayak. Para penonton bergerombol di sana-sini; melihat-lihat still photos yang terpampang di balik kaca pada dinding, mengamat-amati poster, antri di loket atau bersandar pada pilar gedung sambil ngobrol dan mengunyah palamanis, kwaci atau yang dinamakan kacang arab.
Anak-anak tanggung penjaja makanan berseliweran di antara orang banyak itu sambil menawarkan barang-barang dagangan mereka dengan suara lantang. Teriakan "Palamanis! Palamanis!' — "Kwaci! Kwaci?' dan "Kacang Arab!" seakan-akan hendak menyaingi lagu-lagu orkes mini, percakapan calon-calon penonton dan hiruk pikuk kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan raya depan gedung.
Akan halnya kacang Arab, makanan yang populer pada masa itu, kini tidak pernah terlihat ada yang memperdagangkannya lagi.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR