(Baca juga: Sedang Bermain dan Terjatuh, Bocah Laki-laki Ini Tak Sengaja Temukan Fosil Langka Berusia 1,2 Juta Tahun yang Lalu)
Baru 60 tahun kemudian, tepatnya Minggu 5 Maret 1995, Drs. Wakino, cucu almarhum Noyo Semito, bersama delapan kawannya terpanggil untuk meneruskan penemuan sang kakek.
Dengan susah payah mulut gua tersebut berhasil ditemukan, meski sudah tertutup bebatuan dan semak belukar.
Peralatan yang dibawa hanya tujuh buah senter, delapan buah lampu petromaks, dan sebuah kamera sederhana.
Setelah menyaksikan fenomena keindahan gua yang tiada duanya, mereka menyimpulka, "Ini adalah gongnya gua." Jadilah nama gua itu Gua Gong.
Penemuan kembali gua ini mendapat tanggapan positif dari Pemda Pacitan. Mulai 31 Juli 1996 beberapa fasilitas penunjang mulai digarap.
Selain membangun lahan parkir, fasilitas kamar mandi dan WC, pemda juga membuat tangga setapak ke mulut gua.
Sementara di dalam gua dipasang fasilitas penerangan listrik dan kipas angin. Namun, ya, itu tadi, pemeliharaannya terkesan seadanya.
Maklum, jumlah dana yang terkumpul, baik dari penjualan karcis (Rp 1.500,-/orang) maupun retribusi parkir masih belum mencukupi.
Satu hal lagi, peluang ekonomis dengan adanya wisata gua ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh penduduk sekitar.
Semangat wiraswasta hanya terlihat dari deretan meja kecil warung tenda di sekitar lokasi gua. Menu yang dijajakan hanya itu-itu saja, kacang rebus, gula aren, kelapa muda, bahkan thiwul.
Yang sudah mampu memetik keuntungan langsung barangkali orang seperti Bondan. Meski masih amatiran, dengan celana olahraga, T-shirt, serta sandal jepit, ia cukup piawai menjual jasa pemandu kepada para wisman dan wisnu (wisatawan nusantara).
Pemuda ini paling sedikit bisa mengumpulkan Rp 250.000,- setiap bulannya.
"Tapi, ya tidak tentu, Pak. Kalau pengunjung lagi ramai, bisa lebih. Saya pernah diberi tips oleh Pak Joop Ave (mantan Menparpostel) Rp. 150.000,- ketika beliau berkunjung ke sini," ujar Bondan.
(Baca juga: Apakah Ular Boa Bertelur atau Melahirkan? Tonton Video Ini untuk Menemukan Jawabannya)
Padahal sebenarnya kawasan ini menyimpan banyak poterisi wisata alam lain. Tak jauh dari Gua Gong, 5 km ke utara, terdapat Gua Tabuhan, tempat persembunyian Sentot Alibasyah Prawirodirjo, salah satu panglima Pangeran Diponegoro dalam peperangan melawan penjajah Belanda (1825 - 1830).
Gua ini tidak besar. Bebatuannya hanya berujud karang. Di sana-sini hitam legam karena jelaga asap api obor tradisional.
Yang lebih menarik adalah kreativitas penduduk sekitar gua tersebut. Memanfaatkan beberapa batu stalaktit untuk tetabuhan, dengan iringan musik batu yang dipukul-pukul plus kendang, mereka menawarkan pergelaran "orkes gua". Tarifnya Rp. 20.000,- untuk lima lagu.
Jika punya waktu luang, cobalah ke sana. (Djs)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 200)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR