Minibus tua yang saya tumpangi terseok-seok di jalan berkelok. Kipas angin kecil di dalamnya berputar sia-sia sepanjang siang.
Udara terasa gerah. Untung pemandangan di luar apik. Selepas Wonogiri, di sebelah kanan jalan sayup-sayup di kejauhan tampak hamparan air membiru. Itulah waduk Gajah Mungkur.
Pada awal pembuatannya dulu air waduk ini tercemari air mata pilu ribuan warga empat kecamatan yang terpaksa bedol desa merelakan rumah dan tanahnya tergenangi air, menyingkir ke daerah transmigrasi Sitiung, Sumatra Barat.
Sepuluh kilometer sebelum Baturetno, masih di sebelah kanan jalan, terdapat dua buah gunung kecil mengapit sebuah jalan.
Tempat ini terkenal dengan sebutan Gunung Pegat (Gunung Cerai). Penduduk setempat meyakini, pengantin pantang melewati jalan di tengah kedua gunung tersebut.
Kalau ekat, usia perkawinan akan singkat. Kebenarannya?
"Walahualam, Mas. Yang jelas, sampai sekarang tak ada yang berani melanggar," jawab Hartono.
Beberapa kilometer setelah itu kami melewati Desa Donorojo, yang terkenal dengan pohon jati (Tectona grandis) berkualitas.
Kanan kiri jalan memang diapit hutan jati, meski tidak terlalu lebat. Yang jelas, penduduk sekitar menganggap hutan jati ini angker.
Dulu, kayu jati Donorojo memang hanya digunakan untuk keperluan Keraton Surakarta dan para kerabatnya.
(Baca juga: Gua Raksasa Berisi Gereja Milik Kesatria Templar Ditemukan Gara-gara Sarang Kelinci)
Beberapa tahun silam, konon sebongkah akar pohon jati yang hanyut di Bengawan Solo mengakibatkan kawasan sekitar Tanjungperak Surabaya banjir.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR