Namun, akses masuk dan keluarnya pengunjung hanya melalui salu pintu yang tidak terlalu lebar, ± 2,5 m.
Pada peak days bisa dibayangkan, betapa berjubelnya orang berebut masuk dan keluar pada saat yang bersamaan.
Belum lagi, pengunjung harus ekstra hati-hati menjaga kepala, agar tidak terantuk batu stalaktit yang keras dan runcing, yang seolah menyongsongnya di mulut gua.
Ditemukan secara tak sengaja
Penemuan Gua Gong diawali sekitar tahun 1938, ketika daerah Punung didera kemarau panjang sampai warga sulit mendapatkan air.
Terdorong untuk menyelamatkan hajat hidup orang banyak, Noyo Semito, warga setempat dengan temannya Joyo, mencoba keliling desa mencari sumber air.
Dalam pencarian itu mereka menemukan sebuah lubang gua di lereng bukit ± 0,5 km dari desa.
Dengan penerangan obor daun kelapa, ditambah keberanian dan tekad kuat, akhirnya mereka berhasil menemukan beberapa mata air atau sendang di dalamnya.
Namun, meski penemuan itu sudah disebarluaskan ke masyarakat, tak seorang pun berani mengambil air di sana.
Mereka menganggap gua itu wingit alias angker. Konon pada saat tertentu, dari arah bukit yang membungkus gua tersebut sering terdengar bunyi-bunyian seperti gamelan ditabuh, atau suara iringan reog.
Padahal secara logika, misteri itu bisa dijelaskan. Rongga besar gua itu berfungsi sebagai ruang resonansi tiupan angin.
Belum lagi suara gema yang ditimbulkannya. Sayang, aura mistis yang terlalu merasuki alam pikir masyarakat desa masa itu menyebabkan eksplorasi keberadaan gua ini sedikit terlambat.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR