Advertorial
Intisari-Online.com - Meski ditemukan lebih dari setengah abad yang lalu, gua ini baru dibuka tahun 1995.
Keindahan beragam bentuk batuan stalaktit dan stalagmit di dalamnya bak pahatan karya seni alam yang mengagumkan.
Pengalaman ini berawal dari rasa penasaran. Seorang teman mengatakan di dekat Wonogiri, Jawa Tengah, baru saja ditemukan sebuah tempat wisata, Gua Gong yang sangat indah.
(Baca juga:Di Negeri Ini Ada Lomba Merawat Jenazah, yang Bisa Memperlihatkan Keindahan Ajaran Shinto Jadi Juaranya)
Mengingat kota terdekat dengan Wonogiri adalah Solo, saya pun segera berangkat ke sana. Ternyata jarak Solo dengan tempat tujuan masih 85 km.
Mestinya, dari Jakarta saya menuju Pacitan, Jawa Timur. Dari sini, jarak tempuh ke Gua Gong tinggal 25 km.
Dengan sedikit menyesali kekeliruan itu, saya tetap pergi ke gua tersebut dari Solo lewat Wonogiri, menuju Baturetno kemudian mengambil rute arah Pacitan.
Memang lebih lama, tapi saya percaya, semakin jauh kaki menapak bumi pasti makin banyak pengalaman tergali.
Benar juga. Sebelum memasuki Wonogiri, ada pemandangan unik. Sebongkah batu besar bergaris tengah ± 5 m tampak teronggok persis di lereng bukit, membawahi jalan raya.
Bongkahan batu itu pasti akan longsor melumat siapa pun yang berada di bawahnya, kalau tidak tersangga oleh sebuah pohon asam. Tempat ini terkenal dengan sebutan Pelinteng Semar.
"Konon, menurut cerita para orang tua, pada suatu ketika Semar mau berburu dengan senjata pelinteng (katapel). Nah, karena tergesa-gesa, pelinteng dan mimis (peluru)-nya jatuh dan tertinggal di situ," ujar Hartono, sopir yang mengantar.
Ketika saya amati, bentuk pohon asam tua dan cabang yang "menahan batu tersebut memang persis katapel.
Itulah kreatifnya masyarakat kita. Fenomena alam yang unik pun cukup diberi jawaban dengan folklore.
Minibus tua yang saya tumpangi terseok-seok di jalan berkelok. Kipas angin kecil di dalamnya berputar sia-sia sepanjang siang.
Udara terasa gerah. Untung pemandangan di luar apik. Selepas Wonogiri, di sebelah kanan jalan sayup-sayup di kejauhan tampak hamparan air membiru. Itulah waduk Gajah Mungkur.
Pada awal pembuatannya dulu air waduk ini tercemari air mata pilu ribuan warga empat kecamatan yang terpaksa bedol desa merelakan rumah dan tanahnya tergenangi air, menyingkir ke daerah transmigrasi Sitiung, Sumatra Barat.
Sepuluh kilometer sebelum Baturetno, masih di sebelah kanan jalan, terdapat dua buah gunung kecil mengapit sebuah jalan.
Tempat ini terkenal dengan sebutan Gunung Pegat (Gunung Cerai). Penduduk setempat meyakini, pengantin pantang melewati jalan di tengah kedua gunung tersebut.
Kalau ekat, usia perkawinan akan singkat. Kebenarannya?
"Walahualam, Mas. Yang jelas, sampai sekarang tak ada yang berani melanggar," jawab Hartono.
Beberapa kilometer setelah itu kami melewati Desa Donorojo, yang terkenal dengan pohon jati (Tectona grandis) berkualitas.
Kanan kiri jalan memang diapit hutan jati, meski tidak terlalu lebat. Yang jelas, penduduk sekitar menganggap hutan jati ini angker.
Dulu, kayu jati Donorojo memang hanya digunakan untuk keperluan Keraton Surakarta dan para kerabatnya.
(Baca juga:Gua Raksasa Berisi Gereja Milik Kesatria Templar Ditemukan Gara-gara Sarang Kelinci)
Beberapa tahun silam, konon sebongkah akar pohon jati yang hanyut di Bengawan Solo mengakibatkan kawasan sekitar Tanjungperak Surabaya banjir.
Akhirnya, akar itu dikirim kembali ke Donorojo.
"Boleh dibilang di sini tidak terjadi pencurian kayu. Mana ada maling yang berani mencuri kayu di hutan ini," lagi-lagi si sopir berkomentar.
Mungkin saja folkfore horor ini bisa menakut-nakuti para maling amatiran, sehingga program pelestarian hutan terbantu sementara.
Seperti istana dongeng
Akhirnya, mobil berhenti di Pasar Punung, ± 25 km sebelum Pacitan. Nah, di sinilah pelancong belok kanan menuju Gua Gong yang jaraknya tinggal 6 km.
Tempat wisata ini terletak di pesisir pantai selatan, tepatnya di Desa Bomo, Kec. Punung, Kab. Pacitan dan dikelilingi sederetan gunung kecil.
Meski sudah diaspal, jalan berliku menuju lokasi gua belum bagus. Selain berlubang di sana sini, mobil harus menepi dan berhenti dulu setiap berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.
Dari tempat parkir, para pengunjung masih mendaki tangga setapak yang diperkeras dengan semen untuk mencapai mulut gua.
Di sepanjang tangga itu berjejer anak-anak tanggung menyambut sambil berteriak, "Senter, Om! Senter, Om!" Rupanya, mereka menyewakan senter.
Benda bersinar ini akan sangat berguna di dalam gua. Ongkos sewa senter tergantung kesepakatan.
Fantastis! Itu komentar yang muncul begitu memasuki Gua Gong. Hampir tidak bisa dipercaya, perut bumi tandus yang terbungkus hutan jati dan kebun singkong ini menyimpan pemandangan yang begitu indah.
Dengan luas ruangan ± 500 m2, dan jarak lantai tanah ke langit-langit ± 70 m, gua ini ibarat dunia maya yang tersembunyi di alam nyata.
Di kedalaman 25 m, nyatalah, berbagai bentuk batuan tua serta perpaduan stalaktit dan stalagmit yang tertata menyuguhkan karya seni alam yang tak bisa dilakukan tangan manusia.
(Baca juga:Berkat Hal Ini, Desa Sepi yang Dulunya Tempat Ziarah Kini Jadi Salah Satu Tempat Wisata Terbaik)
Untuk menikmati pemandangan di dalam, pemda setempat membuat semacam jalur setapak yang melingkar sesuai radius keliling ruangan gua.
Sebagai pengaman sekaligus pegangan agar pengunjung tidak terpeleset lantaran semua bebatuan basah, jalur itu dilengkapi dengan pipa besi semacam pagar.
Memang, agak mengganggu mata dan tidak alami.
Meski tanpa pembatas jelas, oleh penemunya, gua ini dibagi menjadi beberapa ruangan besar kecil.
Sebagian memiliki sendang. Urutan letak dan namanya sesuai dengan jalur setapak mulai dari sebelah kanan kemudian melingkar berlawanan arah jarum jam.
Ruangan pertama disebut Sendang Bidadari, yang menurut legenda menjadi tempat mandi para bidadari.
Setelah itu melalui jalur yang agak menurun, mata kita dibuat terbelalak menyaksikan stalagmit bergaris tengah ± 2 m, menjulang setinggi 20 m lurus ke langit-langit gua.
Karena bentuknya menyerupai tiang penyangga gua di tengah ruangan yang luas, batu itu disebut Sela Dudur Langit.
Pada bagian berikutnya terdapat beberapa sendang kecil dengan kedalaman air setengah meter, antara lain Sendang Panguripan (mata air kehidupan) an Sendang Jampi Raga (air untuk mengobati penyakit).
Di dekatnya terdapat bebatuan yang wujudnya mirip tanaman tradisional yang sering digunakan sebagai obat, semisal buah pare, jahe, mentimun, dan lain sebagainya.
Melalui bebatuan licin, pengunjung kemudian dituntun untuk menyaksikan sebuah rongga di dinding gua berbentuk irisan stupa seperti ruang pertapaan, dengan sendang kecil di depannya, Sendang Relung Jiwo.
Ruangan berikutnya berupa hamparan bebatuan rata yang cukup luas, bisa untuk duduk-duduk dan bersantai.
Biasanya tempat ini dimanfaatkan para pengunjung untuk berfoto.
Tak jauh dari tempat ini, terdapat palang kayu dengan tulisan peringatan dilarang masuk.
Kayu bercat merah menyala tersebut berfungsi untuk menutup luweng, semacam jurang berbentuk sumur yang dalamnya mencapai ratusan meter.
“Konon sumur itu bisa tembus ke Laut Selatan,” ujar Bondan Surya Pawenang, pemandu wisata Gua Gong.
Di bagian terakhir sebelum kembali menuju pintu gua, pengunjung masih bisa menikmati keindahan sebuah stalaktit, Sela Cipta Citra Agung, dan sendang kecil yang disebut Sendang Kamulyan.
Meski suasana dalam gua didominasi kegelapan, di beberapa tempat masih terlihat dengan jelas wajah-wajah pengunjung.
Memang dari kejauhan, berbagai bentuk stalaktit dan stalagmit itu tampak memancarkan sinar warna-warni. Tapi jangan salah, bukan batunya yang bernyala. Itu pantulan lampu sorot berwarna yang tersembunyi.
Untuk menyegarkan udara sumpek, terlebih saat gua penuh pengunjung, pengelola memasang dua buah kipas angin besar. Sayang, siang itu tidak berfungsi.
"Pada hari libur, pernah hampir seribu orang berada di dalam gua. Sementara barisan mereka yang menunggu giliran di luar seperti badan ular mencapai panjang ± 2 km," tambah Bondan.
Namun, akses masuk dan keluarnya pengunjung hanya melalui salu pintu yang tidak terlalu lebar, ± 2,5 m.
Pada peak days bisa dibayangkan, betapa berjubelnya orang berebut masuk dan keluar pada saat yang bersamaan.
Belum lagi, pengunjung harus ekstra hati-hati menjaga kepala, agar tidak terantuk batu stalaktit yang keras dan runcing, yang seolah menyongsongnya di mulut gua.
Ditemukan secara tak sengaja
Penemuan Gua Gong diawali sekitar tahun 1938, ketika daerah Punung didera kemarau panjang sampai warga sulit mendapatkan air.
Terdorong untuk menyelamatkan hajat hidup orang banyak, Noyo Semito, warga setempat dengan temannya Joyo, mencoba keliling desa mencari sumber air.
Dalam pencarian itu mereka menemukan sebuah lubang gua di lereng bukit ± 0,5 km dari desa.
Dengan penerangan obor daun kelapa, ditambah keberanian dan tekad kuat, akhirnya mereka berhasil menemukan beberapa mata air atau sendang di dalamnya.
Namun, meski penemuan itu sudah disebarluaskan ke masyarakat, tak seorang pun berani mengambil air di sana.
Mereka menganggap gua itu wingit alias angker. Konon pada saat tertentu, dari arah bukit yang membungkus gua tersebut sering terdengar bunyi-bunyian seperti gamelan ditabuh, atau suara iringan reog.
Padahal secara logika, misteri itu bisa dijelaskan. Rongga besar gua itu berfungsi sebagai ruang resonansi tiupan angin.
Belum lagi suara gema yang ditimbulkannya. Sayang, aura mistis yang terlalu merasuki alam pikir masyarakat desa masa itu menyebabkan eksplorasi keberadaan gua ini sedikit terlambat.
Baru 60 tahun kemudian, tepatnya Minggu 5 Maret 1995, Drs. Wakino, cucu almarhum Noyo Semito, bersama delapan kawannya terpanggil untuk meneruskan penemuan sang kakek.
Dengan susah payah mulut gua tersebut berhasil ditemukan, meski sudah tertutup bebatuan dan semak belukar.
Peralatan yang dibawa hanya tujuh buah senter, delapan buah lampu petromaks, dan sebuah kamera sederhana.
Setelah menyaksikan fenomena keindahan gua yang tiada duanya, mereka menyimpulka, "Ini adalah gongnya gua." Jadilah nama gua itu Gua Gong.
Penemuan kembali gua ini mendapat tanggapan positif dari Pemda Pacitan. Mulai 31 Juli 1996 beberapa fasilitas penunjang mulai digarap.
Selain membangun lahan parkir, fasilitas kamar mandi dan WC, pemda juga membuat tangga setapak ke mulut gua.
Sementara di dalam gua dipasang fasilitas penerangan listrik dan kipas angin. Namun, ya, itu tadi, pemeliharaannya terkesan seadanya.
Maklum, jumlah dana yang terkumpul, baik dari penjualan karcis (Rp 1.500,-/orang) maupun retribusi parkir masih belum mencukupi.
Satu hal lagi, peluang ekonomis dengan adanya wisata gua ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh penduduk sekitar.
Semangat wiraswasta hanya terlihat dari deretan meja kecil warung tenda di sekitar lokasi gua. Menu yang dijajakan hanya itu-itu saja, kacang rebus, gula aren, kelapa muda, bahkan thiwul.
Yang sudah mampu memetik keuntungan langsung barangkali orang seperti Bondan. Meski masih amatiran, dengan celana olahraga, T-shirt, serta sandal jepit, ia cukup piawai menjual jasa pemandu kepada para wisman dan wisnu (wisatawan nusantara).
Pemuda ini paling sedikit bisa mengumpulkan Rp 250.000,- setiap bulannya.
"Tapi, ya tidak tentu, Pak. Kalau pengunjung lagi ramai, bisa lebih. Saya pernah diberi tips oleh Pak Joop Ave (mantan Menparpostel) Rp. 150.000,- ketika beliau berkunjung ke sini," ujar Bondan.
(Baca juga:Apakah Ular Boa Bertelur atau Melahirkan? Tonton Video Ini untuk Menemukan Jawabannya)
Padahal sebenarnya kawasan ini menyimpan banyak poterisi wisata alam lain. Tak jauh dari Gua Gong, 5 km ke utara, terdapat Gua Tabuhan, tempat persembunyian Sentot Alibasyah Prawirodirjo, salah satu panglima Pangeran Diponegoro dalam peperangan melawan penjajah Belanda (1825 - 1830).
Gua ini tidak besar. Bebatuannya hanya berujud karang. Di sana-sini hitam legam karena jelaga asap api obor tradisional.
Yang lebih menarik adalah kreativitas penduduk sekitar gua tersebut. Memanfaatkan beberapa batu stalaktit untuk tetabuhan, dengan iringan musik batu yang dipukul-pukul plus kendang, mereka menawarkan pergelaran "orkes gua". Tarifnya Rp. 20.000,- untuk lima lagu.
Jika punya waktu luang, cobalah ke sana. (Djs)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 200)