“Sayangnya, tidak semua taman di Jakarta seperti Taman Suropati yang hidup kegiatannya. Sekelas Taman Menteng saja, tidak seramai di Suropati, lebih-lebih Ayudya yang lebih sering digunakan sebagai tempat pacaran,” ujar Rully.
Taman kota di Jakarta juga belum bisa menjadi bukti sejarah lingkungan tempat taman itu dibangun. Misalnya Taman Menteng yang dulunya merupakan lapangan sepakbola milik klub sepakbola Persija Jakarta. Tapi tak banyak penanda yang menjelaskan bahwa taman yang identik dengan gedung kacanya itu dulunya adalah lapangan sepakbola. “Ada patung pesepakbola, tapi jelas kurang dari cukup untuk menjelaskan semuanya,” ujar Rully.
Atau Taman Ayudya di Kebayoran Baru. Bagi yang tidak pernah membuka lembaran sejarah Jakarta, bakal tidak tahu apa maksud dibangunnya taman tersebut. Jika mengacu pada paparan Rully, Taman Ayudya dibangun pada 1947 oleh Ir. Susilo sebagai tetenger dibangunnya blok-blok pemukiman di wilayah tersebut.
Taman Suropati bagi Rully adalah contoh yang baik. Sejak awal dibangun pada 1920-an, taman yang tepat berada di kawasan elite Jakarta ini tidak banyak berubah, baik desain maupun suasananya. Taman Menteng adalah saksi dibangunnya vila-vila mewah orang-orang Eropa yang tinggal di sekitaran Batavia dulu.
Selain berperan majemuk, taman kota juga harus berfungsi majemuk. Antara lain untuk rekreasi, untuk pusat interaksi sosial, untuk pusat olahraga, dan untuk pusat lain-lain. Pusat lain-lain dalam artian, taman juga bisa menjadi pusat berbagai kegiatan, baik formal maupun non-formal.
Masalah lain yang kerap muncul dari taman-taman kota di Jakarta adalah desainnya yang tunggal rupa. Misalnya Taman Kodok yang ada di Menteng memiliki elemen yang sama dengan Taman Ayudya di Kebayoran Baru. Akibatnya, taman kota tidak memiliki jati diri, tidak memiliki identitas asli, tidak bisa menjadi tetenger wilayah, dan tidak memiliki keunikan.
Jangankan dikunjungi banyak orang, taman-taman ini hanya akan menjadi bahan olok-olokan karena dianggap menjiplak taman sebelahnya.
Tidak melulu soal keindahan
Taman-taman kota di Jakarta kebanyakan dirancang untuk hijau rekreasi dengan dominasi perannya sebagai elemen dekorasi kota belaka. Oleh sebab itu, pemilihan jenis tanamannya juga lebih berfungsi estetis alih-alih ekologis. Hal ini menyebabkan taman kota sebagai etalase hijau kota saja, tidak ada fungsi dan peran majemuk di dalamnya.
Ketidakjelasan fungsi dan peran taman di Jakarta adalah Taman Semanggi. Rully sendiri heran, apa yang akan disasar dengan revitalisasi Taman Semanggi. Jika fungsinya sebagai taman jalur yang memisah dua jalan, semestinya tidak perlu dijejali dengan aneka warna bunga yang mencolok mata.
Warna-warni yang terlalu mencolok akan mengalihkan pandangan pengendara ketika menyetir mobil. Imbasnya, menyetir menjadi tidak fokus. Bukan kesejukan yang didapat, tapi maut yang justru datang dari jok belakang. “Apalagi sebagai taman publik? Orang datang ke taman itu untuk mendapatkan ketenangan, bukan kebisingan karena lalu-lalang kenderangan,” kata Rully nyinyir.
Perihal taman kota di Jakarta, Rully menyebutnya masih berkutat sebagai ruang, belum sebagai tempat. Oleh karena itu, kebanyakan masih menonjolkan sisi-sisi estetikanya saja. Meminjam istilah Rully, taman-taman di Jakarta belum bekerja sebagai pusat kegiatan sekaligus tempat yang menentramkan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR