Pertanyaannya kemudian, apakah bisa dimaksimalkan fungsi dan perannya? Mengutip kalimat populer berbahasa Inggris, “No thing is impossible!”
Menjadikan taman sebagai mal
Bayangkan bahwa taman kota itu adalah sebuah pusat perbelanjaan atau mal. Dalam pandangan banyak orang, mal identik dengan segala sesuatu yang menyenangkan, pusat cuci mata, isinya melulu senang-senang. Karena taman kota adalah sebuah mal, maka unsur-unsur dalam mal harus dimasukkan dalam taman kota.
Menjadikan taman kota selayaknya mal, bukan berarti menjejalinya dengan kios-kios dan outlet-outlet. “Paradigma mal” lebih pada anggapan: tidak menyisakan sedikit pun ruang kosong menjadi tidak berguna; setiap sudut harus bisa dinikmati, setap sudut harus terisi, setiap sudut harus memiliki fungsi.
Salah satu caranya adalah dengan membuat tingkatan dalam taman. Harus ada ruang khusus buat anak-anak, untuk orang dewasa, dan untuk lansia. Yang suka bermusik dan berpusi disediakan panggung kreasi. Yang suka melukis disediakan ruang galeri kecil-kecilan. Bagi yang gemar berolahraga, terdapat track joging dan lapangan olahraga.
Taman juga harus didesain untuk kenyamanan, baik kenyamanan termal maupun kenyamanan visual. Kenyamanan termal berarti suhu yang ada di sekitar (taman) sama dengan suhu yang ada di tubuh, sementara kenyamanan visual lebih pada tampilan visual yang jika mata melihatnya terkesan adem-ayem.
“Untuk mengukur kenyamanan tidak sulit. Lihat, berapa lama seseorang berada di tempat itu?” tanya Rully.
Jika semua elemen taman sudah dipenuhi, ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu perawatan. Baik Rully maupun Suwardi prihatin dengan beberapa nasib taman di Jakarta.
Suwardi mengaku jarang sekali menemui ada penyemprotan berkala terhadap rumput dan pohon-pohon di taman kota Jakarta. Terutama yang berada di wilayah pinggiran, alih-alih diberi pupuk saban hari, pohon-pohon yang ada di dalamnya justru dipaku untuk kepentingan beberapa golongan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR