Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada di dalam dirinya.
Murid-muridnya adalah anak perempuan priyayi ada ada di Kota Jepara.
Sekolah dilakukan selama empat hari dalam seminggu yaknu mulai Senin hingga Kamis.
Para siswa masuk jam 08.00 dan pulang jam 12.30.
Murid-murid belajar membaca, menulis, menggambar, tata krama, sopan-santun, memasak, serta membuat kerajinan tangan.
Aktifitas Kartini di sekolah menjadikannya melupakan rasa pedih karena gagal berangkat ke Belanda.
Pertengahan Juli 1903 perhatian Kartini dalam mengelola sekolah mulai terpecah, karena datang utusan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat membawa surat lamaran untuk Kartini.
Surat lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat diterima oleh Kartini disertai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
- Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini.
- Kartini diizinkan membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri bangsawan di Rembang
Jawaban Kartini segera disampaikan kepada Bupati Rembang dan mendapatkan persetujuan, sehingga pernikahan antara Raden Adipati Djojo Adiningrat dengan Kartini bisa segera dilaksanakan.
Pada 24 Juli 1903, setelah Kartini menerima lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat, datang surat dari Surat Keputusan Gubernur Jenderal yang memberikan izin kepada Kartini dan Roekmini untuk melanjutkan pendidikan ke Batavia.
Mereka mendapatkan bantuan biaya dari pemerintah masing-masing sebesar f. 200,- (dua ratus gulden) sebulan selama dua tahun.
Keputusan pemerintah tersebut menjadi tidak berarti karena Kartini sudah memutuskan untuk menikah, sementara Roekmini tidak mungkin pergi sendiri belajar di Batavia.
Pernikahan Kartini yang semula direncanakan pada 12 November 1903, atas permintaan Bupati Rembang dimajukan menjadi 8 November 1903.
Pernikahan dilaksanakan di Jepara dengan cara yang sederhana dihadiri oleh saudara-saudara dekat kedua mempelai.
Pernikahan ini tidak disertai dengan upacara mencium kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sesuai dengan permintaan Kartini.
Mempelai laki-laki mengenakan pakaian dinas, sementara Kartini memakai pakaian seperti keseharian biasa.
Setahun setelah menikah, Kartini hamil dan melahirkan.
Sayangnya beberapa hari setelah melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1903 di usia 25 tahun.
Kematian R.A. Kartini sangat mengguncang pikiran suaminya, R.M. Djojo Adiningrat.
Kepada Nyonya Abendanon dia menulis sebuah surat yang menceritakan kematian isterinya:
“Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota."
Begitulah sejarah singkat RA Kartini, mulai dari dipingit, gagal sekolah ke Belanda hingga menikah di usia muda.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR