Intisari-Online.com -Ini adalah kisah tentang Soesalit Djojoadhiningrat, satu-satunua putra Raden Ajeng Kartini.
Menjadi bagian dari keluarga orang terpandang tak menjadikan Soesalit hidup bahagia hingga akhir masa.
Begini ceritanya.
Semua kisah tragisnya berawal ketika dia kedatangan menjadi "orang yang diharapkan" terkait Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Seperti disebut di awal, Soesalit adalah satu-satunya anak dari R.A. Kartini ini tak banyak yang mengenalnya.
Sejak kecil Soesalit Djojoadhinigrat sudah ditinggal ibunya untuk selamnya.
Hanya berselang 4 hari setelah kelahirannya, ibunya R.A. Kartini meninggal dunia.
Saat itu ayah Soesalit Djojoadhiningrat adalah seorang Bupati Rembang dengan nama Raden Mas Adipati Ario Djojodiningrat.
Soesalit lagi-lagi merasakan kehilangan pada usia muda.
Ayahnya Ario Djojodiningrat meninggal pada saat Soesalit sedang berumur 8 tahun.
Dalam usianya yang masih muda Soesalit sudah merasakan kehilangan sosok ayah dan ibu.
Beruntungnya saudara tiri tertuanya Abdulkarnen Djojodhinigrat mau mengurus Soesalit.
Abdulkarnen mengurusi Soesalit dari urusan sekolah hingga pekerjaan.
Abdulkarnen ini nantinya memangku jabatan Bupati Rembang menggantikan ayahnya.
Soesalit bersekolah di sekolah yang sama dengan R.A. Kartini dulu, yaitu Europe Lager School (ELS).
Sekolah ini merupakan sekolah elit untuk anak Eropa dan pembesar Pribumi.
Setelah lulus dari ELS, Soesalit melanjutkan pendidikannya di Hogare Burger School (HBS) Semarang dan berlanjut ke Recht Hoge School (RHS) Jakarta.
Beberapa tahun kemudian Soesalit ditawari pekerjaan oleh kakak tirinya.
Namun diluar dugaan ternyata sang kakak Abdulkarnen memasukkan adik tirinya ini ke Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang merupakan polisi rahasia Belanda.
Rasa Bimbang selalu dirasakan Soesalit saat menjadi polisi rahasia ini.
Karena ia sebagai pejuang bangsa harus memata-matai bangsanya sendiri.
Setelah Jepang masuk ke Indonesia akhirnya Soesalit dapat keluar dari PID dan bergabung dengan Tentara sukarela Pemela Tanah Air (PETA).
Dilansir Kompas.com, sejarawan Hendri F. Isnaini menjelaskan, selama perang kemerdekaan putra Kartini ini menjadi panglima di Divisi III Diponegoro.
Soesalit juga pernah bergeriliya di Gunung Sumbing saat Agresi Militer belanda II.
Namun karir militer Soesalit tidak begitu baik.
Pada saat berpangkat jendral Mayor atau sekarang dikenal Mayor jendral Soesalit pernah diturunkan pangkatnya.
Dari jendral Mayor menjadi Kolonel kemudian diturunkan lagi menjadi Kementrian Perhubungan.
Namun pada peristiwa Madiun 1948 menjadi awal penderitaan Soesalit.
Pada saat pemberontakan komunis, pemerintah mendapat dokumen berisi nama Soesalit sebagai "Orang Yang Diharapkan".
Singkat cerita Soesalit pun menjadi tahanan rumah dan pangkatnya diturunkan.
Ia menjadi pejabat di Kementrian Perhubungan dengan pangkat militer tak berbintang.
Soesalit wafat di RSAP 17 Maret 1979.
Satu pesan yang diwariskan Soesalit adalah agar keturunannya tak membangga-banggakan dirinya sebagai keturunan R.A. Kartini dan selalu rendah hati.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News